Wednesday, November 8, 2017

Makalah HAKIKAT DAN SYARI’AT



HAKIKAT DAN SYARI’AT


Latar belakang
Syariat adalah disiplin keislaman yang menggarap aspek lahiriyah. Seiring klasifikasi zaman, syariat mengalami penyempitan arti dan garapan secara normatif yaitu fiqih.sedangkan asal mulanya syari`at merupakan pokok-pokok ajaran Islam yang masih utuh meliputi Tauhid, Hukum Islam, dan Akhlak. Menurut Fajrurrahman, Tauhid adalah bangunan pondasi yang menjadi pijakan utama dalam beragama dan syariat aturan formal yang membingkai aspek kehidupan secara legal. Adapun akhlak bidang garapan yang lahannya tingkah laku manusia dengan pendekatan sentuhan hati nurani untuk di aplikasikan dalam praktik kehidupan sehari-hari berdasarkan Al-Qur`an As-Sunnah.
Dari ketiga bidang di atas bila didalami, dihayati dan diamalakan oleh setiap kaum muslimin secara kontinyu (istiqomah) berdampak positif pada kehidupan sehari-hari. Para sufi dalam menterjemahkan ketiga aspek ini secara konstektual menjadi sebuah disiplin keilmuan dalam Islam yaitu Ilmu Tasawuf. Imam Al-Gazali dan Ihya Ulumuddin mengkombinasikan tauhid, fiqih, dan akhlak menjadi satu kesatuan yang utuh (saling terkait).
Kolerasi antara syariat dan hakikat bagaikan anak tangga yang satu sama lain saling berhubungan, tidak akan pernah ada hakikat tanpa jalan makrifat, makrifat tidak pernah ada tanpa melalui latihan (thariqat), Thariqat tidak pernah jalan tanpa adanya syari`at dan syari`at sendiri muncul karena adanya tauhid.
Tarekat adalah jalan khusus bagi salik (penempuh jalan ruhani) untuk mencapai kesempurnaan tauhid, yaitu ma’rifatullah. Jalan yang diambil oleh para sufi berasal dari jalan utama, syariat, dengan disiplin yang ketat sehingga terasa lebih sulit dibandingkan mereka yang tidak melakukan disiplin diri



Batasan Masalah
1. Apa itu pengertian Syari’at?
2. Apa itu pengertian Tarikat?
3.Apa itu pengertian Hakekat ?
4.Apa itu pengertian Ma’rifat ?
5. Dan Apa hubungan nya Syari’at Dan Hakekat?





















BAB II
PEMBAHASAN
2.1         SYARI’AT

A.    Pengertian Syari’at
Syariat berasal dari Bahasa Arab, menurut Kamus Al-Munawir ialah jalan yang lurus (at-tariqat al-mustaqimat), yakni jalan yang dengan mudah da­pat mengantarkan seseorang ke tempat yang dia tuju.
Syariat menurut bahasa berasal dari kata kerja ( fi’il madhi) Syara’a yang berarti : Memulai, Mengarahkan, Menerangkan. Makna lain (dalam bentuk kata benda); Al-Syir’ah=adat kebiasaan, Al-Syara’ah =kapal laut (perahu).
Menurut istilah kata syari’at dapat dijelaskan dengan dua pengertian, yaitu pengertian yang  bersifat umum dan pengertian yang bersifat khusus.
Menurut pengertian umum, syari’at Islam  berarti keseluruhan ketentuan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan al-Hadits. Ini berarti syari’at mencakup seluruh ajaran agama Islam yang meliputi bidang aqidah, akhlaq dan bidang amaliyah (perbutan nyata).
Syariat menurut pengertian khusus, berarti ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan agama Islam yang nyata, yakni bidang amaliyah, yang tidak mencakup bidang aqidah dan akhlaq. Syari’ah dalam pengertian khusus tersebut adalah ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang mengatur segala perbuatan serta tingkah manusia, khususnya umat Islam. Ketentuan tersebut terbagi dalam dua bagian, yaitu;
1. Ketentuan yang mengatur perbuatan yang dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah; dikenal dalam Islam dengan nama ibadah, yang meliputi: shalat, zakat, puasa dan haji.
2. Ketentuan hukum yang mengatur perbuatan yang dilakukan untuk menjaga tata tertib,mencegah kekacauan dan agar diperoleh kemaslahatan hidup bersama dalam masyarakat yang dikenal dengan hukum muamalat. Bidang ini meliputi masalah keluarga, harta kekayaan, warisan, jual beli dan hal-hal yang menyangkut hubungan  masyarakat Islam dengan masyarakat non muslim.

Menurut makna Qur’aninya, Syariat adalah ”Jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan” Syari’at adalah 'Pandangan Hidup' (syara), 'Pegangan Hidup' (syariah), dan 'Perjuangan Hidup' (manhaj) yg diwahyukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk seluruh umat manusia, agar diketahui, dipatuhi, dan dilaksanakan dalam hidup dan kehidupannya sebagai pandangan hidup seorang muslim yang islam oriented akan selalu setia pada syariat dalam berbagai persoalan hidupnya dengan senantiasa berpedoman kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Firman Allah SWT yang menjelaskan tentang Syari’at ialah:

" (Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)".(QS Asy-Syura [42]:13)
               [Yang dimaksud : "agama" di sini ialah meng-Esakan Allah S.W.T., beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta menta'ati segala perintah dan larangan-Nya.]

Firman Allah SWT:
﴿ ثُمَّ جَعَلْناكَ عَلى‏ شَريعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْها وَلا تَتَّبِعْ أَهْواءَ الَّذينَ لا يَعْلَمُونَ ﴾
(Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS Al-Jatsiyah [45]:18)

Syari’at Berdasarkan Al-Kitab (Alquran)
Firman Allah SWT:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

(Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (QS Al-Maidah [5]:48)

Setelah Allah S.W.T. menerangkan bahwa kitab Taurat telah diturunkan kepada Nabi Musa a.s. dan kitab Injil telah diturunkan pula kepada Nabi Isa a.s. dan agar kitab tersebut ditaati dan diamalkan oleh para penganutnya masing-masing, maka pada ayat ini diterangkan bahwa Allah S.W.T. menurunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir Muhammad saw. kitab suci Alquran yaitu kitab samawi terakhir yang membawa kebenaran, mencakup isi dan membenarkan kitab suci sebelumnya seperti kitab Taurat dan Injil. Alquran adalah kitab yang terpelihara dengan baik, sehingga ia tidak akan mengalami perubahan dan pemalsuan.

Firman Allah menegaskan:

لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Artinya:
Tidak datang kepadanya (Alquran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
(Q.S.Fussilat:42).

               Alquran adalah kitab suci yang menjamin syariat yang murni sebelumnya dan kitab suci satu-satunya yang berlaku sejak diturunkannya sampai hari kemudian. Oleh karena itu pantaslah, bahkan wajib menghukum dan memutuskan perkara putra manusia sesuai dengan hukum yang telah diturunkan Allah yang telah terdapat di dalamnya dan bukanlah pada tempatnya menuruti keinginan dan kemauan hawa nafsu mereka yang bertentangan dengan kebenaran yang dibawa oleh Junjungan kita Nabi Muhammad saw.
               Syariat setiap umat dan jalan yang harus ditempuhnya boleh saja berubah rubah dan bermacam-macam tetapi dasar dan landasan Agama Samawi hanyalah satu. Kitab Taurat, Injil dan Alquran, masing-masing mempunyai syariat tersendiri, di mana Allah S.W.T. telah menentukan hukum halal dan haram, sesuai dengan kehendak-Nya untuk mengetahui siapa yang taat dan siapa yang tidak.

Firman Allah swt.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Artinya:
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan padanya, "Bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku" maka sembahlah Aku olehmu sekalian.(Q.S.Al-Anbiya':25)
Firman-Nya pula:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Artinya:
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah dan jauhilah tagut.(Q.S. An Nahl: 36).
         Sekiranya Allah swt. menghendaki, tentulah Dia dapat menjadikan manusia hanya mempunyai satu syariat dan satu macam jalan pula yang akan ditempuh dan diamalkan mereka sehingga dari zaman ke zaman tidak ada peningkatan dan kemajuan seperti halnya burung dan lebah, tentunya akan terlaksana dan tidak ada kesulitan sedikitpun, karena Allah S.W.T. kuasa atas segala sesuatu tetapi yang demikian itu tidak dikehendaki oleh-Nya.
         Allah swt. menghendaki manusia itu sebagai makhluk yang dapat mempergunakan akal dan pikirannya, dapat maju dan berkembang dari zaman ke zaman. Dari masa kanak-kanak ke masa remaja meningkat jadi dewasa dan seterusnya.
         Demikianlah Allah swt. menghendaki dan memberikan kepada tiap-tiap umat syariat tersendiri untuk menguji sampai di mana manusia itu dapat dan mampu melaksanakan perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya. Sebagai mana yang telah ditetapkan di dalam kitab Samawi-Nya, untuk dapat diberi Pahala atau disiksa.
         Pada suatu waktu nanti, mau tak mau manusia akan kembali kepada Allah S.W.T. memenuhi panggilan-Nya, ke alam Baqa. Disanalah nanti Allah S.W.T. akan memberitahukan segala sesuatunya tentang hakikat yang diperselisihkan mereka. Orang-orang yang benar-benar beriman akan diberi pahala, sedang orang-orang yang ingkar dan menolak kebenaran, serta menyeleweng dari-Nya tanpa alasan dan bukti akan diazab dan dimasukkan ke dalam neraka.

         (Dan telah Kami turunkan kepadamu) hai Muhammad (kitab) yakni Alquran (dengan kebenaran) berkaitan dengan anzalnaa (membenarkan apa yang terdapat di hadapannya) maksudnya yang sebelumnya (di antara kitab dan menjadi saksi) atau batu ujian (terhadapnya) kitab di sini maksudnya ialah kitab-kitab terdahulu. (Sebab itu putuskanlah perkara mereka) maksudnya antara ahli kitab jika mereka mengadu kepadamu (dengan apa yang diturunkan Allah) kepadamu (dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka) dengan menyimpang (dari kebenaran yang telah datang kepadamu. Bagi tiap-tiap umat di antara kamu Kami beri) hai manusia (aturan dan jalan) maksudnya jalan yang nyata dan agama dan yang akan mereka tempuh. (Sekiranya dikehendaki Allah tentulah kamu dijadikan-Nya satu umat) dengan hanya satu syariat (tetapi) dibagi-bagi-Nya kamu kepada beberapa golongan (untuk mengujimu) mencoba (mengenai apa yang telah diberikan-Nya kepadamu) berupa syariat yang bermacam-macam untuk melihat siapakah di antara kamu yang taat dan siapa pula yang durhaka (maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan) berpaculah mengerjakannya. (Hanya kepada Allahlah kembali kamu semua) dengan kebangkitan (maka diberitahukan-Nya kepadamu apa yang kamu perbantahkan itu) yakni mengenai soal agama dan dibalas-Nya setiap kamu menurut amal masing-masing.

2.2  .TAREKAT
Pengertian Tariqat Istilah Tariqat berasal dari kata At-Tariq (jalan) menuju kepada hakikat, atau dengan kata lain pengalaman syari’at, yang disebut “Al-Jara” atau “Al-Amal”, sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
الطريقة هي العمل بالشريعة والاخذ بعزا ئمها والبعد عن التسا هل فيما لا ينبغى التسا هل فيه
Artinya:
“Tariqat adalah pengalaman syari’at, melaksanaka beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah”.

الطريقة هي اجتناب المنهيات ظا هرا وباطنا وامتثال الاوامرالالهية بقد رالطاقة

Artinya:
“Tariqat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan kesanggupannya, baik larangan dan perintah yang nyata maupun yang tidak (batil)”.
الطريقة هي اجتناب المحرمات والمكروهات وفضول المباحات واداءالفرائض فما استطاع من النوافل تحت رعايةعارف من اهل النهاية
Artinya:
“Tariqat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) faidah, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunnatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) dibawah bimbingan seorang arif (Syekh) dari (Sufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.”
Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan Tasawuf di beberapa Negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah Tarikat mempunyai dua macam pengertian.Tarikat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamat” dan “Al-Ahwal”. Pengertian yang seperti ini, menonjol sekitar abad ke-IX dan ke-X Masehi.
Tarikat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut aturan yang telah dibuat oleh seseorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarikat yang mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut aliran Tarikat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya. Pengertian yang seperti ini, menonjol sesudah abad ke-IX Masehi.
Dari pengertian dan definisi diatas, maka Tarikat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seseorang, maupun secara bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamat” dan “Al-Ahwal”.
Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj dapat disebutkan sebagai berikut:
a.    Tingkatan Taubat (At-Taubah)
b.    Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh, serta yang subhat (Al-Wara’)
c.    Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (Az-Zuhdu)
d.    Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru)
e.    Tingkatan sabar (As-Sabru)
f.    Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul)
g.    Tingkatan kerelaan (Ar-Rida)

2.    Istilah Tariqat
Ada beberapa istilah “tariqat”, antara lain:
a.    Syari’at
Kata “syari’at” berarti perjalanan atau peraturan. Maksudnya, para ahli tarikat berpendapat berupa amalan-amalan lahir. Semisal shalat, puasa dan lain sebagainya.
b.    Hakikat
Kata “hakikat” berarti puncak atau kesudahan sesuatu atau asal sesuatu. Arti lain adalah sebagai kebalikan dari sesudah yang tidak sebenarnya (arti kiasan). Namun di dalam istilah tarikat berarti sebagai kebalikan syariat yakni yang menyangkut batin.
c.    Ma’rifat
“Ma’rifat” berarti pengetahuan atau pengalaman. Menurut istilah, “ma’rifat” ialah pengetahuan dalam mengerjakan syari’at dan hakikat. Para ahli Tarikat berpendapat bahwa ma’rifat adalah sifat sufi yang dapat bertingkat-tingkat. Dari tingkat talib, murid, salik, dan wasila. Jadi kalau ia disebut ahli ma’rifat apabila telah berada ke hadirat Ilahi
d.    Tarikat
Kata “tarikat” berarti jalan. Menurut istilah, Tarikat ialah jalan atau cara yang ditempuh menuju keridaan Allah.
e.    Suluk
Kata “suluk” berarti menempuh perjalanan. Kata suluk berasal dari kata “salaka”. Dalam istilah tasawuf, “suluk” adalah ikhtiar (usaha) dalam menempuh jalan untuk mencapai tujuan tarikat. Orang yang menjalankan ikhtiar disebut “salik”.
f.    Manazil
Artinya tempat-tempat perhatian yang dilalui salik yang melakukan “suluk”
MasyahidØ Ialah hal-hal yang terlihat pada perjalanan ditengah sedang melakukan suluk
MaqamatØ Ialah derajat-derajat yang diperoleh dalam usaha sendiri.
KasbiyahØ Ialah derajat-derajat yang diperoleh semata-mata dengan anugerah Allah yang disebut “al-ahwal” atau “mauhibiyah”
Istilah-istilah diatas disebut tempat bagian ketika memasuki tasawuf
g.    Zawiyah
Adalah merupakan suatu ruang tempat mendidik calon-calon sufi. Disebut juga tempat latihan tarikat yang dilengkapi dengan mihrab untuk salat. Wujud zawiyah besar adalah asrama atau madrasah
h.    Illa zikr naïf isbat
Kalimat “La ilaha illallah” mengandung dua kata, pertama kata “La” dan kedua “Illa”. Dan dua kata pula yang menetapkan yaitu “Ilaha” dan Allah”.
Dalam hal tersebut diatas ahli tarikat memberi tiga tingkatan pengertian, yaitu:
    Tiada Tuhan melainkan Allah
    Tiada ma’bud melainkan Allah
    Tiada maujud melainkan Allah
i.    As-Sukr
As-Syukru maksudnya sebagai salah satu sikap dalam ibadah dan khalwat. Sehingga orang itu tidak sadar lagi akan dirinya.
Al-Fana
Al-Fana merupakan suatu tingkatan/golongan salik, yang menurut mereka dapat terlihat diwaktu ia terpengaruh oleh perasaannya waktu menalankan ibadah, maksud lain adalah lupa segala sesuatu ketika beribadah kecuali yang disembahnya.
j.    Uslah
Uslah adalah salah satu praktek suluk dengan mengasingkan diri dari khalayak ramai yang berbuat maksiat.
Khalwat
Khalwat sebagai satu rangkaian dalam suluk dengan jalan menyendiri ditempat yang sunyi atau bertapa.
k.    Kasyaf
Artinya terbukanya dinding antara hamba dengan Tuhan dalam tarikat. Empat dinding pembatas antara Khalik dengan mahluk menurut ahli tarikat yaitu:
    Najis dan hadas
    Haram dan makruh
    Akhlaq yang tercela
    Kelalaian terhadap Tuhan karena pengaruh dunia
l.    Silsilah
Artinya nisbah (hubungan) guru-guru tarikat yang sambung bersambung dari bawah ke atas yang perlu diketahui oleh pengikut-pengikut tarikat
Khirqah
Ialah semacam ijazah yang diberikan kepada murid setelah mencapai suatu tahap dalam pengetahuan. Lebih lanjut dalam pemberian “khirqah” bersama dengan “wasiat” yaitu amanah atau pesan-pesan penting dan khusus dari guru kepada murid.
m.    Wali
Wali adalah seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian yang tinggi setelah melalui suluk. Dia mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu sebagai bukti kewaliannya.

Keramat
Adapun yang dimaksud dengan keramat adalah keistimewaan yang dimiliki seorang wali.
3.    Tokoh-Tokoh Tarikat Di Dunia Islam Maupun Indonesia
Ada beberapa peristilahan yang sering dijumpai dalam Tarikat yang bersifat perkumpulan, misalnya:
a.    Syekh atau Mursyid, adalah guru tarikat
b.    Khalifah adalah wakil Syekh atau Mursyid
c.    Murid adalah pengikut aliran suatu tarikat
d.    Baiat adalah perjanjian atau sumpah setia murid kepada gurunya, ketika ia memasuki perkumpulan Tarikat.
e.    Wasilah atau Rabitah adalah perantara guru (Syekh) dengan muridnya, sehingga setiap amalan gurunya selalu
  dijadikan wasilah oleh murid-muridnya.
f.    Suluk adalah mengamalkan ajaran-ajaran yang telah diterima dari guru, sebagai sarana latihan jiwa untuk
  mencapai suatu maqam dalam tariqat.
g.    Ijazah adalah sebuah pengakuan guru kepada muridnya, berupa keterangan tertulis yang dibubuhi tandatangan,
  silsilah tarikat dan simbol-simbol lain; misalnya pemberian sepotong kain yang disebut “Khiqatut Tabarruk”.
Macam-macam tarikat beserta pendirinya
•    Tatikat Qadiriyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Abdul Qadir Jailani sebagai pendirinya
•    Tarikat Rifa’iyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Ahmad Rifa’i
•    Tarikat Maulawiyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Maulana Jalaluddin Ar-Rumi.
•    Tarikat Syaziliyah, yang dinisbatkaan kepada Asy-Syekh Abdul Hasan Ali bin Abdil jabbar Asy-Syazali.
•    Tarikat Badawiyah yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Ahmad al-Badawi
•    Tarikat As-Suhrawardiyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Umar As-Suhrawardi;
•    Narikat Naqsyabandiyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syhalah Bahauddin Muhammad bin
Hasan An-Naqsabandi;
•    Tarikat Syatariyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Abdullah Asy-Syattari;
•    Tarikat Khalwatyh yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Abdul Barakat Ayyub bin Muhammad Al-Khalwati Al-Qursisyi. (Mustafa, 1997: 280)
2.3  HAKEKAT
A.    Pengertian Hakekat
Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-­benar ada. Kata ini berasal dari kata po­kok hak (al-Haq), yang berarti mempunyai makna  (ke­punyaan) atau benar (kebenaran) atau “sesuai dengan kenyataan dan realitas eksternal” dan dalam istilah memiliki arti “penyikapan hakikat-hakikat eksistensi dan penggapaian puncak keyakinan (haqqul yakin)”
kata Haq, secara khusus oleh orang-orang sufi sering digunakan sebagai istilah untuk Allah, sebagai pokok (sumber) dari segala kebenaran, sedangkan yang berlawanan dengan itu semuanya disebut batil (yang tidak benar).
Dalam pengertian seperti ini, hakikat merupakan unsur ketiga dalam ilmu tasawuf, yakni:
·         Syari’at (hukum yg mengatur); Syariat, sebagai ilmu yang paling awal, mempelajari tentang amal  iba­dat dan muamalat secara lahir.
·         Tarekat  (suatu jalan atau cara); sebagai suatu tahapan dalam perjalanan spiritual menuju Allah Al-Haqq. Tarekat, sebagai ilmu kedua, mempelajari tentang latihan-latihan rohani dan jasmani yang di­lakukan sekelompok umat Islam (para sufi) menurut ajaran-ajaran tertentu.
·         Hakikat(Kebenaran yg essensial)
·         Ma’rifat (mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, baik Asma, Sifat, maupun Af'al-Nya).
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Sungguh, yg demikian itu adalah hakikat yg meyakinkan maka bertasbihlah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Maha Besar." (QS Al-Waqiah [56]: 95-96)




"Maka ikutilah DIA Tuhanmu yang hakiki. Tidak ada sesudah kepastian itu melainkan kesesatan. Tetapi bagaimanakah kamu dapat dipalingkan dari kebenaran?" (QS Yunus [10]: 32)
Hakekat juga disebut 'lubb' ("dalam", "saripati", "inti") kaitannya dengan sebuah frase Al-Qur'an (dalam surah Al-Qashash ayat 29, dan ayat-ayat  lain).
Ulul Albab (orang yang memiliki pengetahuan yang mendalam), yakni mereka yang memiliki pandangan atau pengertian tetang Hakekat. Kaitannya dengan hal ini terdapat pada pepatah Sufi.
"Untuk mencapai Hakikat (inti), Anda harus mampu menghancurkan kulit",
yang mengandung pengertian bahwa paham eksoterisme (perwujudan), melampaui batas-batas pemahaman eksoteris, karena esensi melampaui bentuk-bentuk luaran yang mana ia tidak dapat direduksikan kepada bentuk luaran yang bersifat eksoterik.
Secara sederhana kita ambil contoh ibadah Shalat yang menjadi inti dari pada hakekat hidup kita sekalian yaitu " Hakekat hidup adalah ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala (liya'buduni), sedangkan ibadah yang paling pokok dan utama adalah Shalat.
-          Syari’at-nya adalah memenuhi kewajiban.
Sesuai dgn firman-Nya;
" Inna alshshalaata kaanat 'alaa almu'miniina kitaaban mawquutaan.."
"Bahwa sesungguhnya Shalat itu diwajibkan atas orang-orang mukmin pada waktu-waktu yang sudah ditentukan." (QS An-Nisaa [4]:103).
-          Tarekat-nya adalah memberi pengaruh pada sikap dan membekas pada perbuatan.
-          Hakekat-nya adalah zikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.




Sebagaimana firman-Nya:
"Innanii anaa allaahu laa ilaaha illaa anaa fau'budnii wa-aqimi alshshalaata lidzikrii.."
"Sungguh, Aku inilah Allah, tiada Tuhan melainkan Aku. Maka sembahlah Aku dan tegakkanlah shalat ini untuk zikir kepada-KU." (QS Thaha [20]:14)
-          Makrifat-nya adalah mi'raj ruhani kehadirat Ilahi.
"Shalat adalah Mi'raj-nya orang-orang yang beriman." (HR Baihaqi dan Muslim)
Seperti telah disinggung pada awal tulisan ini, dimana diuraikan bahwa:
Syari’at adalah 'Pandangan Hidup' (syara), 'Pegangan Hidup' (syariah), dan 'Perjuangan Hidup' (manhaj) yang diwahyukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk seluruh umat manusia, agar diketahui, dipatuhi, dan dilaksanakan dalam hidup dan kehidupannya.
Sebagai pandangan hidup, seorang muslim yang islam oriented akan selalu setia pada syariat dalam berbagai persoalan hidupnya dengan senantiasa berpedoman kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah (QS Asy-Syura:13, Al-Jatsiyah:18, QS Al-Maidah:48).
Sebagai pegangan hidup, syari’at diturunkan allah, ke dunia ini dengan Ilmu-Nya yang tak terbatas. Oleh karena itu, syari’at bersifat universal.
Syaikh Athaillah As-Sakandariyah berkata;
·         Orang yang telah sampai pada Hakikat Islam, maka ia tidak kuasa menghindari melaksanakan Syariat;
·         Orang yang telah sampai pada Hakikat Iman, maka ia tidak kuasa berpaling kepada amal perbuatan atas dasar selain Allah Subhanahu wa Ta'ala (riya);
·         Dan, orang yang telah sampai pada Hakikat Ihsan, maka ia tidak kuasa berpaling kepada segala apapun selain Allah Swt."
2.4   MAKRIFAT
1. Istilah ma’rifah berasal dari kata “Al-Ma’rifah”, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka istilah ma’rifah disini berarti mengenal Allah ketika sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf. Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf, antara lain:
a.    Dr, Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan المعرفة جزم القلب بوجودالواجب الموجود متصفا بسائرالكلمات
Artinya:
“Ma’rifah artinya ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya”.
b.    Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-kadiriy mengemukakan pendapat Abuth thayyib As-Samiriy yang mengatakan:
المعرفة طلوع الحقوهو القلب بمواصلة الانوار
Artinya:
“Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi
c.    Imam Al-Qusyairy mengemukakn pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
المعرفة يوجب السكينة فى القلب كما ان العلم يوجب السكونفمن ازدادت معرفته ازدادت سكينته
Artinya:
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).
(Mustafa, 1997: 251)
Ma’rifat adalah tingkat penyerahan diri kepada Allah secara tingkat demi setingkat sehingga sampai kepada tingkat keyakinan yang kuat. Orang yang memiliki ilmu Ma’rifat dianggap sebagai orang yang “arif”, karena ia bisa memikirkan dalam-dalam tentang segala macam liku-liku kehidupan di dunia ini, oleh karena itu jika kita bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu ma’rifat, maka akan meraih suatu karomah.
Karomah adalah keistimewaan yang tidak dimiliki orang awam. Bentuk karomah tersebut adalah mata hati kita menjadi awas dan indra ke enam kita jadi tajam. Kita akan dapat mengetahui sesuatu yang tersembunyi dibalik peristiwa, orang yang mata hatinya dan indra ke enamnya tajam, maka ia dapat masuk ke dalam hal-hal yang dianggap gaib (tersembunyi). Orang yang arif (memiliki ilmu ma’rifat), suka memperhatikan tanda-tanda kebesaran Allah dengan mata kepalanya, kemudian ia merenungkan dengan mata hatinya.
Orang ma’rifat jika melakukan sesuatu atau memutuskan sesuatu menggunakan nuraninya dari pada hawa nafsu yang mempengaruhi dirinya atau nuraninya yang berkata. Oleh karena itu, orang yang sudah menduduki tingkat ini, selalu tajam indra keenammya. (http, Cinta Ma’rifat: 09.30)
Dalam bukunya Mustafa dikatakan bahwa Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma’rifah. Karena itu sufi yang sudah mendapatkan tingkatan ma’rifah, memiliki tanda-tanda tertentu. Adapunnya yaitu:
a.    Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan perilakunya, karena itu sikap wara’ selalu
ada pada dirinya.
b.    Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang  nyata menurut ajaran tasawuf belum tentu benar.
c.    Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada
perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkat kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.


2.    Jalan Ma’rifat
Kaum Sufi untuk mendapatkan suatu ma’rifat melalui jalan yang ditempuh dengan  mempergunakan suatu alat diantaranya: Sir ( 
السر )
Menurut Al-Qusyairi ada tiga yaitu:
1.    Qalb ( 
القلب ) fungsinya untuk dapat mengetahui sifat tuhan.
2.    Ruh ( 
الروح ) fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan.
3.    Sir ( 
السر ) fungsinya untuk melihat Tuhan.

Kedudukan Sir lebih dari ruh dan qalb. Dan ruh lebih halus dari qalb. Qalb di samping sebagai alat untuk merasa juga sebagai alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan ‘aql ialah kalau ‘aql tidak dapat menerima pengetahuan tentang hakikat Tuhan, tetapi Qolb dapat mengetahui hakikat dari segala yang ada dan manakala dilimpahi suatu cahaya dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
Posisi sir ( 
السر ) bertempat di dalam ruh. Dan ruh ( الروح ) sendiri berada di dalam qalb. Sir akan dapat menerima pantulan cahaya dari Allah apabila qalb dan ruh benar-benar suci, kosong dan tidak berisi suatu apapun. Pada suasana yang demikian, Tuhan akan menurunkan cahaya-Nya kepada mereka (Sufi). (Mustafa, 1997: 251)
4.    Tokoh Ma’rifah Salah satu tokoh dalam Ma’rifah yaitu Al-Ghazali. Al-Ghazali mengakhiri masa petualangannya, karena telah mendapat “pegangan” yang sekuat-kuatnya untuk kembali berjuang dan bekerja di tengah masyarakat. Pegangan itu adalah “Paham Sufi” yang diperolehnya berkat ilham Tuhan di tanah suci Mekkah dan Madinah. Sesudah mendapat ilham yang benar di bawah lindungan Ka’bah maka terbukalah pikirannya untuk berkumpul dengan segenap keluarganya. dan timbullah pikiran yang normal untuk kembali hidup di tengah masyarakat. Hatinya sudah bulat untuk pulang. Tetapi sebagai orang besar, tidaklah mungkin dia pulang dengan tidak ada panggilan resmi dari pihak pemerintah. Kebetulan datanglah panggilan yang ditunggu-tunggunya itu. Perdana Mentri Fakhrul Mulk, putra dari Nizam ul Mulk almarhum, telah memintanya supaya segera pulang ke Niesabur untuk memimpin Universitas Nizamiyah yang ditinggalkannya. Al Ghazali memangku jabatan presiden Universitas, dan memberikan kuliah dengan gembira sekali. Kesaksian baru yang dibawanya bahwa paham sufi adalah prinsip yang sejati dan paling baik. Disebarkannya kepada segenap mahasiswanya. Menurut Al-Ghazali, Ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang Tuhan yaitu (A’rif) tidak akan mengatakan “Ya Allah” atau “Ya Rabbi”.  Karena memanggil Tuhan dengan kata-kata seperti itu menyatakan, bahwa Tuhan ada di belakang tabir, Ma’rifah menurut Al-Ghazali juga memandang kepada wajah Allah SWT. Sedangkan Ma’rifah dan mahabbah menurut Al-Ghazali adalah tingkatan tinggi bagi seorang sufi. Dan pengetahuan ma’rifah lebih baik kualitasnya dari pengetahuan akal. (Mustafa, 1997: 256)

2.5 KORELASI SYARI’AT DAN HAKEKAT
Menurut Syaikh Ali bin al-Haitamy r.a.,
·         Syariat ialah apa yg berkaitan dgn 'taklif' (pembebanan suatu ibadah), sdgkan Hakikat ialah apa yg dpt menghasilkan 'mengenal Allah'. Syariat dikuatkan oleh Hakikat, dan hakikat terikat dgn syariat.
·         Syariat adalah sbg wujud perbuatan Allah Swt., dan melaksanakannya dengan syarat disertai ilmu melalui perantaraan para Rasul, sdgkan Hakikat ialah 'menyaksikan hal ihwal mengenal Allah Swt. dan menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya tanpa ada perantaraan".
Syaikh al-Arif Billah Sayyid Ibrahim ad-Dasuqi al-Quraisy r.a., berkata:
·         Syariat adalah pokok, sedangkan Hakikat adalah cabang. Syariat mengandung segala ilmu yang disyariatkan, sedangkan Hakikat mengandung segala ilmu yang tersembunyi, dan seluruh maqam (kedudukan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala) bertingkat-tingkat di dalam keduanya".
Syariat itu Pohon dan Hakikat itu Buahnya.”
  • “Ahli Syariat akan batal shalatnya dgn bacaan yg buruk, sedangkan..
  • “Ahli Hakikat akan batal shalatnya dgn akhlak yg buruk. Jadi apabila di dlm bathinnya terdapat kedengkian atau iri hati, buruk sangka kepada seseorang, mencintai dunia, shalatnya batal.
“Karena sesungguhnya pemilik akhlak buruk itu berada pada hijab (terhalang) dari menyaksikan keagungan Allah Swt. di dlm shalat. Dan org yg hatinya terhijab maka ia tidak shalat, krn sesungguhnya shalat adalah sebuah hubungan dgn Allah Swt.”






BAB III
PENUTUP
            Tiap-tiap umat Allah diberi syariat (peraturan-peraturan khusus) dan diwajibkan kepada mereka melaksanakannya dan juga mereka telah diberi jalan dan petunjuk yang harus melaksanakannya untuk membersihkan diri dan menyucikan batin mereka.
            Oleh karena itu seharusnyalah manusia berlomba-lomba berbuat kebaikan dan amal saleh, sesuai dengan syariat yang dibawa oleh Nabi penutup, Rasul terakhir Muhammad saw. Syariat yang menggantikan syariat sebelumnya, untuk kepentingan di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak.

























Daftar Pustaka

DR. H. Abuddin Nata, MA, 2005, Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers: Bandung.
Syaik Abdul Qadir al-Jailani, 2010, Raihlah Hakikat  Jangan Abaikan Syariat, Pustaka Hidaya.
Haidar Sayyid Amili, Dari Syari’at Menuju Hakikat, Mizan pustaka



:

Featured Post

Sistem Informasi Kuis dan Materi (e-learning) 2019