Definisi
Hadits Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa
berasal dari kata dhuifun yang berarti lemah lawan dari kata qawiy yang
berarti kuat. Sedangkan dha’if berarti
hadits yang tidak memenuhi hadits hasan. Hadits dhaif disebut juga hadits mardud
(ditolak).
Kata dha’if
menurut bahasa berarti ‘ajiz atau
lemah sebagai lawan dari kata qawiy
atau yang kuat. Adapun lawan dari kata shahih adalah kata dha’if yang berarti saqim
atau yang sakit. Sebutan hadits dha’if
secara bahasa bearti hadits yang lemah atau hadits yang kuat ( Ranuwijaya
dikutip Suyitno, 2008). Menurut Suyitno (2010) mengemukakan bahwa secara
istilah ada beberapa definisi hadits dha’if
yang dikemukakan oleh para ulama, seperti :
1. Dalam
hal ini Al-Nawawi mendefinisikan hadist dhaif sebagai:
ﻣَﺎﻟﻢﻳﻮﺟﺪﻓﻴﻪﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺼﺤﺔﻭﻻﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺤﺴﻦ
“ Hadits
yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat
hadits hasan”
Menurut Firmadani
(2012) mengatakan bahwa tidak terkumpulnya sifat-sifat yang menjadikannya dapat
diterima, syarat diterima suatu hadits, antara lain:
1. Memiliki
sanad hingga kepada Nabi Saw
2. Sanadnya
bersambung
3. Rawinya’adil dan dhabith
4. Tidak
mengandung syadz
5. Tidak
ada illah (http://www.Firmadani.com/pengetahuan-hadits-dhaif-dan-pembagiannya/).
2. Sementara
Ajjaj al-khatib mendefinisikan
hadits dha’if sebagai berikut:
ﻛﻞﺣﺪﻳﺚﻟﻢﻳﺠﺘﻤﻊﻓﻴﻪﺻﻔﺎﺕﺍﻟﻘﺒﻮﻝ
“Segala hadits yang di dalamnya tidak
terkumpul sifat-sifat maqbul”
3. Kemudian
Nur al-Din mendefnisikan hadits
dha’if sebagai berikut:
ﻣﺎﻓﻘﺪﺷﺮﻁﺎﻣﻦﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺤﺪﻳﺚﺍﻟﻤﻘﺒﻮﻝ
”Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadist
maqbul”
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa
hadits dha’if adalah hadits yang
kehilangan salah satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Kemudian dha‘if-an atau kelemahan suatu hadits
bisa terjadi pada sanad maupun matan. Kelemahan pada sanad bisa terjadi pada
persambungan sanadnya atau ittishal
al-sanad-nya dan bisa terjadi pada kualitas te-tsiqah-anny. Sedangkan kelemahan pada matannya bisa terjadi pada
sandaran matan itu sendiri dan bisa pada kejanggalannya atau ke-syazannya.
Klasisifikasi
Hadist Dha’if
Hadits
dha’if termasuk banyak ragamnya dan mempunyai perbedaaan dan derajat satu sama
lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shahih atau hasan
yang tidak dipenuhinya. Misalnya hadits dha’if yang karena tidak bersambung
sanadnya dan tidak adil periwayatnya.
Menurut
Suyitno (2008) mengatakan bahwa kelemahan
atau dha’if-an pada suatu
hadits dapat terjadi diberbagai sudutnya antara lain dapat diuraikan sebagai
berikut:
1.
Ke-dha’if-an dari Segi Sanadnya yang
Terputus
Menurut
Suyitno (2008) mengemukakan bahwa apabila dilihat dari segi terputusnya sanad,
hadits dha’if menjadi lima macam,
yakni:
a.
Hadits
Mursal
Kata
mursal merupakan isim maf’ul dari kata arsala yang
berati melepaskan (Atar dikutip Suyitno, 2008). Secara istilah:
ﻫﻮﺍﻟﺬﻯﻳﺴﻘﻄﻣﻦﺍَﺧﺮﺳﻨﺪﻩﻣﻦﺑﻌﺪﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻰ
“Hadits
yang gugur dari akhir sanadnya, seorang setelah tabi’iy.
Contoh
hadits yang diriwayatkan oleh al-Syafi’iy (Nur al Din Atar. Op. cit. hal.167) :
ﺃﺧﺒﺮﻧﺎﺳﻌﻴﺪﻋﻦﺑﻦﺟﺮﻳﺞﻗﺎﻝﺃﺧﺒﺮﻧﻰﺣﻤﻴﺪﺍﻻﻋﺮﺝﻋﻦﻣﺠﺎﻫﺪأﻧﻪﻗﺎﻝﻛﺎﻥﺍﻟﻨﺒﻰﺻﻠﻰﺍﷲﻋﻠﻴﻪﻭﺳﻠﻢﻳﻆﻬﺮﻣﻦﺍﻟﺘﻠﺒﻴﺔ:ﻟﺒﻴﻚﺍﻟﻠﻬﻢﻟﺒﻴﻚ
Dalam
hadits tersebut Mujahid merupakan seorang ‘abi’in dan dan tidak pernah berjumpa
dengan Rasullah saw, serta tidak menyebutkan perantara antara dirinya dengan
Rasullah saw hingga mendapatkan hadits tersebut, sehingga hadits tersebut
disebut hadits mursal.
Hadist
mursal ini masuk kedalam kategori
hadits mardud, karena jenis dan sifat
perawi yang digugurkannya tersebut tidak jelas, apakah sahabat ataukah tabi’in.
b.
Hadits
Munqathi’
Kata
munqathi’ merupakan isim fa’il dari inqatha’a lawan dari ittishal
yang artinya hadits yang terputus. Secara istilah hadis munqathi’ adalah:
ﺍﻟﻤﻨﻘﻂﻊﻫﻮﺍﻟﺤﺪﻳﺚﺍﻟﺪﻯﺳﻘﻄﻣﻦﺭﻭﺍﺗﻪﺭﺍﻭﺍﻭﺣﺪﻗﺒﻞﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻰﻓﻰﻣﻮﺿﻊﻭﺍﺣﺪﺍﻭﻣﻮﺍﺿﻊﻣﺘﻌﺪﺩﺓﺑﺤﻴﺚﻻﺑﺰﻳﺪﺍﻟﺴﺎﻗﻄﻓﻰﻛﻞﻣﻨﻬﻤﺎﻋﻠﻰﻭﺍﺣﺪﻭﺍﻻﻳﻜﻮﻥﺍﻟﺴﺎﻗﻄﻓﻰﺍﻭﻝﺍﻟﺴﻨﺪ
“Hadits muqathi’ adalah hadits yang gugur salah
seorang rawinya sebelum sahabat disatu tempat atau beberapa tempat dengan
catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan
tidak terjadi pada awal sanad”.
Definisi
tersebut menjadikan hadits munqathi berbeda
dengan hadist lain, contohnya adalah :
ﺣﺪﺛﻨﺎﺷﺠﺎﻉﺑﻦﻣﺨﻠﺪﺛﻨﺎﻫﺴﻴﻢﺃﺧﺒﺮﻧﺎﻳﻮﻧﺲﺑﻦﻋﺒﻴﺪﻋﻦﺍﻟﺤﺴﻦﺃﻥﻋﻤﺮﺟﻤﻊﺍﻟﻨﺎﺱﻋﻠﻰﺃﺑﻲﺑﻦﻛﻌﺐﻓﻜﺎﻥﻳﺼﻠﻰﻟﻬﻢﻋﺸﺮﺑﻦﻟﻴﻠﺔﻭﻻﻳﻘﻔﺖﺑﻬﻢﺇﻻﰱﺍﻟﻨﺼﻒﺍﻟﺒﺎﻗﻰ....
Hadits
tersebut munqathi’ karena Hasan
Bashri dilahirkan pada tahun 21 H sedangkan Umar Bin Khattab wafat tahun 23 H
atau pada awal muharam tahun 23 H, sehingga tidak mungkin Hasan Bashri
mendengar dari Umar Bin Khattab (Rahman dikutip Suyitno, 2008).
c.
Hadits
Mu’dhal
Kata
mu’dhal merupakan isim maf’ul dari fi’il a’dhala yang artinya memayahkan atau memberatkan atau tempat
melemahkan. Secara istilah hadits mu’dhal
adalah:
ﻣﺎﺳﻘﻄﻣﻦﺭﻭﺍﺗﻪﺍﺛﻨﺎﻥﺃﻭﺍﻛﺜﺮﻋﻠﻲﺍﻟﺘﻮﺍﻟﻰﺳﻮﺍﺀﺳﻘﻄﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻰﻭﻟﺘﺎﺑﻌﻰﺃﻭﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻰﻭﺗﺎﺑﻌﻪﺃﻭﺛﻨﺎﻥﻗﺒﻠﻬﻤﺎ
“Hadits yang gugur rawi-rawinya dua orang rawi atau
lebih, baik bersama sahabat tabi’in, tabi’in bersama tabi’it tabi’in, maupun
dua orang sebelum sahabat dan tabi’in.
Definisi
tersebut memberikan pemahaman tentang hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawi atau lebih dari
awal sanad-nya. Contohnya hadits mu’dhal adalah hadits yang diriwayatkan
al-Syafi’I :
ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ)ﺃﺧﺒﺮﻧﺎﺳﻌﻴﺪﺑﻦﺳﺎﻟﻢﻋﻦﺍﺑﻦﺟﺮﺍﻥﺭﺳﻮﻝﺍﷲﺻﻠﻰﺍﷲﻋﻠﻴﻪﻭﺳﻠﻢﻛﺎﻥﺇﺫﺍﺭﺃﻯﺍﻟﺒﻴﺖﺭﻓﻊﻳﺪﻳﻪ)
Dalam
hadits tersebut antara Ibnu Juraij dengan Rasullah sal ada dua perantara, yaitu
tabi’in dan shabat. Karena tabi’in dan sahabat tidak disebut dalam
sanad hadits tersebut maka riwayat hadits tersebut disebut mu’dhal. Hadis mudallas ini
dihukum lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah (Rahman dikutip Suyitno, 2008)..
d.
Hadits
Mudallas
Kata
Mudallas merupakan isim maf’ul dari kata tadlis yang berarti gelap. Hadits ini
dinamakan demikian dikarnakan mengandung kesamaran dan ketutupan. Secara
istilah hadits mudallas adalah:
ﻣﺎﺭﻭﻯﻋﻠﻰﻭﺟﻪﻳﻮﻫﻢﺃﻧﻪﻻﻋﻴﺐﻓﻴ
“Hadits
yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak
ternoda” (Rahman dikutip Suyitno, 2008).
Menurut
Ibid dikuti Suyitno (2008) mengatakan bahwa hadits mudallas terbagi menjadi tiga yaitu
Pertama,
mudallas isnad yaitu hadits yang
disampaikan oleh seorang rawi dari
orang yang sezaman dengannya dan ia bertemu dengan orang tersebut, tetapi ia
tidak mendengar hadits yang diriwayatkan itu darinya atau orang yang semasa
dengannya tetapi ia seolah-olah mendengar darinya.
Kedua,
mudallas syuyukh yaitu hadits yang
diriwayatkan seorang rawi dari gurunya dengan menyebut nama kuniyahnya, mana
keturunannya atau mensifati gurunya dengan sifat-sifat yang tidak atau belum
dikenal orang banyak.
Ketiga,
mudallas taswiyah yaitu bila seorang
rawi meriwayatkan dari perawinya yang tsiqah
yang oleh guru tersebut diterima oleh guru yang lemah dan guru yang lemah ini
menerima dari guru yang tsiqah tapi si mudalis
meriwayatkan tanpa menyebut nama rawi yang lemah bahkan ia meriwayatkan dengan lafaz yang mengandung pengertian bahwa
semua perawinya tsiqah.
e.
Hadits
Mu’allaq
Kata
mu’allaq merupakan isim maf’ul dari fi’il ‘allaqa yang berhati menghubungkan, menguatkan dan
menjadikannya sebagai sesuatu yang tergantung atau digantungkan. Hadits ini
dikatakan mu’allaq karena sanadnya
hanya ittishal dengan bagian atas,
namun terputus dengan bagian bawah (Jumantoro dikutip Suyitno, 2008). Sedangkan
menurut istilah hadits mu’allaq adalah
hadits yang gugur rawinya, seorang atau lebih dari awal sanadnya (Rahman
dikutip Suyitno,2008).
Menurut
Jumantoro dikutip Suyitno (2008) mengatakan bahwa ada beberapa pendapat ulama
tentang hokum hadits mu’allaq, yaitu:
1. Hadits
mu’allaq pada prinsipnya
dikelompokkan kepada hadits dha’if
(mardud) disebabkan karena sanad yang digugurkan itu tidak diketahui
sifat-sifat dan keadaan-keadaanya secra menyakini baik mengenai ke’adilannya
maupun kedhabitannya, kecuali yang digugurkan itu adalah seorang sahabat yang
sudah terkenal ke’adilannya.
2. Hadits
mu’allaq bisa dianggap shahih bila sanad yang digugurkan ini
disebutkan oleh hadits lain yang shahih.
2.
Macam-macam
Hadits Dhoif karena ketercelaan Sanadnya
Menurut Suyitno
(2008) mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan kedho’if-an dari sudut kecacatan rawinya,
hal ini disebabakannya ada yang menyatakannya hadits maudhu’ sebagai bagian dari hadits dan ada yang tidak memasukkan
hadits maudhu’ sebagai bagian dari
hadits menyatakan hadits maudhu’
sebagai hadits dha’if dari segi
kecacatan rawinya dan mereka berpendapat
bahwa hadits dho’if terbagi menjadi
12 macam. Sebaliknya ulama yang tidak mengganggap hadits maudhu’ bagaian dari hadits tidak memasukkannya kebagian dari
hadits dho’if dan berpendapat hadits dho’if ada 11 macam , yakni :
1. Hadits
matruk, yaitu hadits yang menyendiri
dalam periwayatannya, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam
ilmu haditsatau Nampak kefasikannya baik pada perkataannya maupun perbuatannya
atau orang yang banyak lupa dan banyak ragu. Perawi yang meriwayatkan hadits ini
disebut matruk al-hadits (orang yang
ditinggalkan hadits). Para muhaditsin memandang hadits matruk adalah hadits yang sangat lemah setelah hadits maudhu’ (Shalih dikutip Suyitno, 2008).
2. Hadits
munkar dan ma’ruf. Hadits munkar
adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya dan banyak
kelengahannya atau jelas kefasikannya yang bertentangan dengan periwayatan
orang yang terpercaya (Shalih dikutip Suyitno, 2008). Lawan dari hadits munkar adalah hadits ma’ruf yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang tsiqah (Rahman dikutip Suyitno, 2008).
3. Hadits
mu’alal, yaitu hadits yang pada
lahiriahnya tidak ada cacat, namun setelah diadakan penelitian dan penyelidikan
terdapat ‘illat baik pada sanadnya atau matannya.
4. Hadits
mudraj, yaitu hadits yang disadur
dengan sesuatu yang buka hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk
hadits. Saduran ini dapat terjadi pada sanad ataupun pada matan, saduran pada
matan dapat terjadi diawal, ditengah maupun diakhir. Contoh saduran dalam sanad
adalah seorang rawi memasukkan hadits lain kedalam hadits yang diriwayatkan
yang berbeda sanadnya atau dengan menyisipkan oran ain yang bukan rawi
sebenarnya.
5. Hadits
maqlub, yaitu hadits mukhalafah
(menyalahi hadits lain) baik disebabkan karena mendahulukan atau mengakhirkan.
Tukar menukar kalimat pada matan hadits baik disebabkan karena mendahulukannya
pada tempat lain dan ini adakalanya terjadi pada matan hadits dan adakalanya
pada sanad hadits.
6. Hadits
mudltharib, yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh seorang rawi dengan beberapa jalan yang berbeda yang tidak
mungkin dikumpulkan atau ditarjih.
7. Hadits
muharraf, yaitu hadits yang
mukhalafahnya (bersalahannya dengan hadits riwayat orang lain), terjadi
disebabkan karena perubahan syakal kata dengan masih tetapnya bentuk tulisan.
Yang dimaksud syakal disini adalah tanda hidup (harakat) dan tanda mati.
8. Hadits
mushahaf, yaitu hadits yang
mukhalafahnya terjadi pada titik kata sedangkan bentuk tulisannya tidak
berubah. Hadits mushahaf ini terbagi dua, yakni mushahaf
fi al-matan dan mushahaf bi al-sanad
(Rahman dikutip Suyitno, 2008).
9. Hadits
mubham, majhul dan mastur. Hadits
mubham adalah hadits yang dlam sanad atau matannya terdapat seorang rawi yang
tidak jelas apakah ia laki-laki ataukah perempuan. Ke-ibham-an dalam hadits ini terjadi karena tidak disebutkan nama
rawinya atau disebutkan namun tidak dijelaskan siapa yang sebenarnya yang
dimaksud dengan nama itu.
10. Hadits
syadz dan makhfudh, hadits syadz
yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul (tsiqah) yang
menyalahi riwayat orang yang lebih rajin karena mempunyai kelebihan kedhabitan
atau banyaknya sanad atau lainnya dari segi pentarjihan.
11. Hadits
mukhtalith, yaitu haidts yang rawinya
buruk hafalannya disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, atau
terbakar/hilang kitab-kitabnya. Yang dimaksud buruk hafalannya adalah salahnya
lebih banyak dari pada betulnya, hafalan tidak lebih banyak daripada lupanya.
Menurut Asrukin
(2007) mengatakan bahwa adapun macam-macam hadits dhoif berdasarkan kecacatan
perawinya:
1. Hadits
Maudhu’, adalah hadits yang
diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka katakana bahwa itu
adalah sabda Nabi SAW, baik hal itu disengaja maupun tidak.
2. Hadits
Matruk, adalah haditst yang
menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta
dalam perhaditsan.
3. Hadits
Munkar, adalah hadits yang menyendiri
dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannnya,
banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Sedangkan
menurut Muvarok dkk (2010) mengatakan bahwa hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang
berlawanan dengan riwayat perawi yang kuat dan terpercaya (tsiqoh).
4. Hadits
Mu’allal (Ma’lul, Mu’all), adalah
hadits yang tampaknya baik, namun setelah diadakan suatu penelitian dan
penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini terjadi karena salah sangka dari
rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini
hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
5. Hadits
Mudraj (saduran), adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang
bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits. Menurut Muvarok dkk
(2008) mengemukakan bahwa hadits mudraj
adalah hadits yang didalamnya berisi tambahan-tambahan, baik pada mantan atau
pada sanad, karena diduga bahwa sanad tambahan tersebut termasuk bagian hadits
tersebut.
6. Hadits Maqlub, adalah hadits yang terjadi
mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan. Menurut
Muvarok dkk(2008) mengatakan bahwa hadits maqlub
adalah hadits yang terbalik lafadznya pada matan, nama seseorang atau nasbnya
dalam sanad. Maka perawi mendahulukan apa yang seharusnya diakhirkan, dan
sebaliknya, serta meletakkan sesuatu di tempat sesuatu yang lain. Pembalikan
tersebut bisa terjadi pada matan ataupun pada sanad hadits.
7. Hadits Mudhtharrib,
adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi dengan pergantian pada
satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan
(dikumpulkan). Hadits mudhthorib
adalah hadits yang diriwayatkan melalui beberapa jalur yang sanad atau matannya
saling berbeda, baik satu atau beberapa periwayat. Pertentangan tersebut tidak
dapat disatuka atau salah satu dikalahkan (Muvarok dkk, 2008) (http://www.library.um.ac.id/image/pustakawan/pdfasrukin/Hadits-Sebuah-Tinjauan-Pustaka.pdf).
Menurut Muvarok dkk (2010) mengatakan
bahwa para ulama ahli hadits membolehkan untuk meriwayatkan hadits dho’if
selama :
a. Hadits
tersebut tidak berkaitan dengan permasalahan aqidah/ keyakinan.
b. Hadits
tersebut bukan berkaitan dengan penjelasan terhadap hukum syariat, yaitu
penjelasan tentang hukum halal dan haram.
Menurut Muvarok dkk (2010) mengatakan
bahwa adapun hukum mengamalkan hadits dha’if,
para ulama berselisih pendapat tentang boleh tidaknya mengamalkan hadits dha’if, ulama yang membolehkan
mengamalkan hadits dho’if menyatakan bolehnya mengamalkan hadits dha’if hanya di dalam masalah fadhoilul a’mal (keutamaan amal) dengan
syarat-syarat :
a. Hadits
dha’if tersebut tidak terlalu berat
kedho’ifannya.
b. Hadits
tersebut termasuk ke dalam prinsip umum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an
dan hadits yang shahih.
c. Hadits
itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
Ulama yang lainnya menyatakan tidak
boleh sama sekali untuk mengamalkan hadits-hadits dha’if, karena telah tercukupi oleh hadits-hadits yang shahih
maupun hasan (Muvarok dkk,
2010). Beberapa contoh hadits dha’if yaitu:
ﺍِﻋْﻤَﻞْﻟِﺪُﻧْﻴَﺎﻙَﺗَﻌِﻴْﺶُﺍَﺑَﺪًﺍﻭَآﻋْﻤَﻞْﹺﻻٰﺧِﺮَﺗِﻚَﻛَﺎَﻧﱠﻚَﺗَﻤُﻮْﺕُﻏَﺪًﺍ
“Beramallah
untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya dan beramallah untuk
akhiratmu seolah-olah engkau akan mati esok.”
Menurut Al-Albani
(1995) mengemukakan bahwa riwayat ini sangat mahsyur dan hamper setiap orang
mengutipnya, tetapi sanadnya tidak ada yang marfu’. Bahkan Syekh Abdul Karim al-Amri
tidak mencantumkannya dalam kitabnya al-jaddul-Hatsits
fi Bayani ma laysa bi Hadits.
Sumber sanad yang
mauquf (pada shabat) yaitu diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibi dalam kitab
Ghairibul-Hadits I/ 46, dengan matan “Ihrits lidunyaaka….” Dan seterusnya. Dan
terdapat juga dalam riwayat Ibnu Mubarak pada kitab az-Zuhud II/28 dengan sanad
lain yang juga mauquf dan munqathi’ (tidak bersambung). Ringkasan, riwayat
hadits tersebut dho’if karena daya dua permasalahan dalam sanadnya. Pertama,
majhulnya (asingnya) maula (budak/pengikut) Umar bin Abdul Aziz sebagai salah
satu perawi sanadnya. Kedua, dho’if pencacat bagi Laits yang bernama Abdullah
bin Shaleh, yang juga merupakan perawi sanad dalam riwayat ini (Al-Albani,
1995).
اِنَ النَبِيَ ﺻَﻠَﯽاللهﹸﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠﱠﻢْتَوَ ضَأَ وَمَسَحَ عَلىَ الْجَوْرَ
بَيْنِ
Artinya:
“Bahwasanya Nabi SAW wudhu dan beliau mengudap kedua kaos kakinya”.
Menurut Wardah (2013) mengatakan bahwa hadits tersebut
dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al-Audi. Seorang perawi yang masih dipersoalkan
(http.www.wardah.blogspot.com).
No comments:
Post a Comment