Monday, December 4, 2017

Pengertian Hadits, Sunnah, khobar dan Atsar Secara Bahasa dan Istilah (makalah )

  Pengertian Hadits, Sunnah, khobar dan Atsar Secara Bahasa dan Istilah

1.      Definisi Hadits
Dalam kamus besar bahasa Arab [al-‘ashri], Kata Al-Hadits berasal dari bahasa Arab “al-hadist” yang berarti baru, berita.  Ditinjau dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, dintaranya:
a.      al-jadid (yang baru), lawan dari al-Qadim (yang lama)
b.      Dekat (Qarib),lawan dari jauh (ba’id)
c.      Warta berita (khabar), sesuatu yang dipercayakan dan dipindahkan dari sesorang kepada orang lain.
Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ
Artinya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan suatu kabar (kalimat) yang semisal Al-Qur’an itu, jika mereka orang-orang yang benar” (QS. At-Thur: 34).
Secara terminologis, hadits ini dirumuskan dalam pengertian yang berbeda-beda diantara para muhadditsin dan ahli ushul.mereka berbeda-beda pendapatnya dalam menta’rifkan Al-hadits. Perbedaan tersebut disebabkan karena terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.
Ibnu Manzhur berpendapat bahwa kata ini berasal dari kata Al-Hadits, jamaknya: Al-Ahadits, Al-Haditsan dan Al-Hudtsan. Ada juga sebagian Ulama yang menyatakan, bahwa ahadits bukan jamak dari haditsyang bermakna khobar, tetapi meruppakan isim jamak.Mufrad ahadits yang sebenarnya, adalah uhdutsah, yang bermakna suatu berita yang dibahas dan sampai dari seseorang ke seseorang.(Hasbi Ashidiqi, sejarah pengantar ilmu hadits : 2)
Menurut istilah ahli ushul fiqih, pengertian hadits ialah:
كل ماصدر عن النبي صلى الله عليه وسلم غيرالقرأن الكريم من قول او فعل اوتقرير مما يصله ان يكون دليلا لحكم شرع
“Hadits yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain Al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan dengan hukum syara”.  
Sedangkan Ulama Hadits mendefinisikan Hadits sebagai berikut:
كل ما أثرعن النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل اوتقرير اوصفة خلقية او خلقية
“Segala sesuatu yang diberikan dari Nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi”.
Yang dimaksud dengan “hal ihwal” ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaan-kebiasaan.
Kedua hadits tersebut di atas menyatakan bahwa unsur Hadits itu terdiri dari tiga unsur yang ketiga unsur ini hanya bersumber dari Nabi Muhammad, ketiga unsur itu adalah:
a.    Perkataan. Yang dimaksud dengan perkataan  Nabi Muhammad ialah sesuatu yang pernah dikatakan oleh beliau dalam berbagai bidang.
b.    Perbuatan. Perkataan Nabi merupakan suatu cara yang praktis dalam menjelaskan peraturan atau hukum syara’. Contohnya cara Sholat.
c.    Taqrir. Arti taqrir adalah keadaan beliau mendiamkam, tidak menyanggah atau menyetujui apa yang dilakukan para sahabat.
Sementara kalangan ulama ada yang menyatakan bahwa apa yang dikatakan hadits itu bukan hanya yang berasal dari Nabi SAW, namun yang berasal dari sahabat dan tabi’in disebut juga hadits. Sebagai buktinya, telah dikenal adanya istilah hadits marfu’, yaitu hadits yang dinisbahkan kepada Nabi SAW, hadits mauquf, yaitu hadits yang dinisbahkan pada shahabat dan hadits maqtu’ yaitu hadits yang dinisbahkan kepada tabi’in.Jumhur Al-Muhadditsin berpendapat bahwa pengertian hadits merupakan pengertian yang terbatas sebagai berikut: “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, penyataan (taqrir) dan sebagainya”
Sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Mahfuzh Al-Tirmizi, yaitu:
أن الحديث لايحتث بالمرفوع اليه صلى الله عليه وسلم بل جاء بلموقوف وهو ما أضيف الى الصحابى والمقطوع وهو ما أضيف للتبعي
Artinya: “Bahwasanya hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’ yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga untuk sesuatu yang mauquf,yang disandarkan kepada sahabat dn yang maqtu, yaitu yang disandarkan kepada tabi’in” Munzier Suparta (2001:3)
Berdasarkan pengertian hadits diatas maka kami menyimpulkan bahwa hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadits karena ahli ushul membedakan diri Nabi Muhammad dengan manusia biasa. Yang dikatakan hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Ini pun, menurut mereka harus berupa ucapan, perbuatan dan ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan, tata cara berpakaian dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadits. Dengan demikian, pengertian hadits menurut ahli ushul lebih sempit dibanding dengan hadits menurut ahli hadits.
Disamping itu, ada beberapa kata yang bersinonim (muradif) dengan kata hadits seperti: sunnah, khabar, dan atsar.
2.      Definisi Sunnah          
Menurut bahasa sunnah berarti  “Jalan yang terpuji atau tercela”.
Adapun menurut istilah, ta’rif Sunnah antara lain sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad ajaj al-khathib:
ما أثر عن النبى ص.م من قول اوفعل اوتقريراوصفةخلقية
Artinya: “Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik sebelum Nabi diangkat jadi rasul atau sesudahnya”.
Sabda Nabi SAW,
لتتبعن سنن من قبلكم شبرا بشبرودراعابدراع حتى لودخلواحجرالضب لدخلتموه
Artinya:”sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalan) orang yang sebelummu” sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga sekiranya mereka memasuki seorang dan (berupa biawak) sungguh kamu memasuki juga”. (HR. Muslim)
Menurut istilah as-sunnah adalah pensarah Al-Qur’an, karena Rasulullah bertugas menyampaikan Al-Qur’an dan menjelaskan pengertiannya. Maka As-asunnah menerangkan ma’na Al-Qur’an, adalah dengan cara:
a.       Menerangkan apa yang dimaksud dari ayat-ayat mudjmal, seperti menerangkan waktu-waktu sembayang, bilangan raka’at, kaifiyat ruku’, kaifiyat sujud, kadar-kadar zakat, waktu-waktu memberikan zakat, macam-macamnya dan cara-cara mengerjakan haji.
b.      Menerangkan hukum-hukum yang tidak ada didalam Al-Qur’an seperti mengharamkan kita menikahi seseorang wanita bersamaan dengan menikahi saudaranya ayahnya, atau saudara ibunya, seperti mengharamkan kita makan binatang-binatang yang bertaring.
c.       Menerangkan ma’na lafad, seperti mentafsirkan al maghdlubi ‘alaihim dengan orang yahudi dan mantafsirkan adldlallin, dengan orang nasroni.
3.    Khabar
Secara etimologis khabar  berasal dari kata :khabar, yang berarti ‘berita’.Adapun secara terminologis, para ulama Hadits tidak sepakat dalam menyikapi lafadz tersebut.sebagaimana mereka berpendapat adalah sinonim dari kata hadits dan sebagian lagi tidak demikian.Karena Khabar adalah berita, baik berita dari Nabi SAW, maupun dari sahabat atau berita dari tabi’in.
Sementara Khabar menurut ahli Hadits, yaitu : “Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW atau dari yang selain Nabi SAW”. 
Ulama lain mengatakan Khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW, sedang yang datang dari Nabi SAW disebut Hadits. Ada juga ynag mengatakan bahwa Hadits lebih umum dan lebih luas daripada Khabar, sehingga tiap Hadits dapat dikatakan Khabar, tetapi  tidak setiap Khabar  dikatakan Hadits.
Karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa Khabar itu menyangkut segala sesuatu yang datang dari selain Nabi SAW. Sedangkan Hadits khusus untuk segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW.
4.      Atsar
Atsar dari segi bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa. Sesuatu dan berarti pula nukilan (yang dinukilkan). Karena doa yang dinukilkan / berasal dari Nabi SAW. Dinamkan doa maksur.
Sedangkan atsar menurut istilah terjadi perbedaan pendapat diantara pendapat para ulama. Sedangkan menurut istilah:
ماروي عن الصحابة ويحوزاطلاقه على كلام النبى ايضا
Artinya: “yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat danboleh juga disandarkan pada perkataan Nabi SAW”.
Jumhur ulama mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabi’in. sedangkan menurut ulama Khurasan bahwa atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu’. (Mudasir : 1999: 32).

B.     Struktur Hadist yang meliputi Sanad, Matan dan Mukharrij
1. Sanad
Kata “Sanad” menurut bahasa adalah “sandaran” atau sesuatu yang akan dijadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadist bersandar kepadanya. Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jama’ah dan Al-Thiby mengatakan bahwa : “Berita tentang jalan matan”.
Ada juga yang menyebutkan :“Silsilah para perawi yang menukilkan hadist dari sumbernya yang pertama”
Yang berkaitan dengan istilah sanad,terdapat kata-kata seperti, al-isnad, al-musniddan al-musnad. Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama.
Kata al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal) dan mengangkat. Yang dimaksud disini ialah menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya (raf’u hadits ila qa ‘ilih atau ‘azwu hadits ila qa’ilih). Menurut At-thiby,“Kata al-isnad dan al-sanad digunakan oleh para ahli dengan pengertian yang sama”.Kata al-musnad mempunyai beberapa arti, bisa berarti hadits yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang, bisa berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan system penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat, perawi hadits, seperti kitab Musnad Ahmad, bisa juga berarti nama bagi hadits yang marfu’ dan muttashil.
2. Matan
Kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti Mairtafa’a min al-ardi (tanah yang meninggi). Sedangkan menurut istilah ahli hadits adalah : “Perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nai SAW. Yang disebutkan sanadnya”.
3.  Mukharrij               
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik. sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya).
Di dalam suatu hadis biasanya disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang telah mengeluarkan hadis tersebut, semisal mukharrij terakhir yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau imam Muslim dan begitu seterusnya.  Seperti pada contoh hadis yang pertama, pada bagian paling akhir hadis tersebut disebutkan nama Al-Bukhari (رواه البخاري) yang menunjukkan bahwa beliaulah yang telah mengeluarkan hadis tersebut dan termaktub dalam kitabnya yaitu Shahih Al-Bukhari. Begitu juga dengan contoh hadis kedua yang telah mengeluarkan hadis tersebut ialah Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.

C.     Kedudukan dan Fungsi Hadist
Hadits Nabi SAW. Merupakan penafsiran Al-Qur’an dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Demikian ini mengingat bahwa pribadi Rasulullah merupakan perwujudan dari Al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an, sedikitnya mempunya tiga fungsi pokok yaitu:
1.    Memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an (sebagai bayan taqrir).
2.    Memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih bersifat mujmal dan bersifat mutlak (bayan tafsir). Penjelasan (penafsiran) Rasulullah terhadap ayat-ayat yang demikian, dapat berupa:
a.    Menafsirkan kemujmalannya seperti pemerintah mengerjakan salat, membayar zakat, dan menunaikan haji.
b.    Menaqyidkan (memberikan persyaratan), misalnya ketentuan tentang anak-anak dapat memusakai harta orang tuanya dan keluarganya didalam Al-Qur’an dilukiskan secara umum.
c.    Memberikan kekhususan (bayan takhsis), ayat yang masih bersifat umum, misalnya tentang keharaman bangkai dan darah.
3.    Menetapkan hukum aturan-aturan yang tidak didapati( diterangkan di dalam Al-Qur’an), misalnya dalam masalah perkawinan (nikah).
Adapun fungsi perbandingan hadits dengan Al-Qur’an, Sunnah atau hadits dalam Islam merupakan sumber hukum kedua dan kedudukannya setingkat lebih rendah dari pada Al-Qur’an.Al-Qur’an adalah kalamullah yang diwahyukan Allah lewat Malaikat Jibril secara lengkap berupa lafaz dan sanadnya sekaligus, sedangkan lafaz hadits bukanlah dari Allah melainkan dari Nabi sendiri.Dari segi kekuatan dalalah-nya, Al-Qur’an adalah mutawatir yang Qat’i sedangkan hadits kebanyakannya khabar ahad yang hanya memilikidalalah Danni. Sekalipun ada hadits yang mencapai martabat mutawatir namun jumlahnya hanya sedikit.Para sahabat mengumpulkan Al-Qur’an dalam mushaf dan menyampaikan kepada umat dengan keadaan aslinya, satu huruf pun tidak berubah atau hilang. Dan mushaf itu terus terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa.
Sedangkan hadits tidak demikan keadaannya, karena hadits Qauli hanya sedikit yang mutawatir. Kebayakan hadits yang mutawatir mengenai amal prakter sehari-hari seperti bilangan rakaat salat dan tatacaranya.Al-Qur’an merupakan hukum dasar yang isinya pada umumnya bersifat mujmal dan mutlak. Sedangkan hadits sebagai ketentuan-ketentuan pelaksanaan (praktisnya).

D.    Hubungan Alquran dengan Sunnah
As Sunnah bersama Al Qur’an berada dalam martabat yang satu jika ditinjau dari segi keberadaannya sebagai hujjah dalam syari’at ini. Karenanya ketika kita mendapati beberapa nash yang kelihatannya bertentangan diantara keduanya (Al Qur’an dan As Sunnah) tidak boleh kita langsung meninggalkan As Sunnah dengan alasan bertentangan dengan dalil yang lebih tinggi martabatnya, bahkan keduanya harus digabungkan kemudian dicari jalan keluarnya.
Ditinjau dari segi hukum maka hubungan Al Qur’an dengan As Sunnah adalah :

1.      Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah tercantum di dalam Al-Qur’an. Contoh : Hukum jilbab dan menundukkan pandangan.
2.      Terkadang As-Sunnah menafsirkan dan merinci hal-hal yang masih bersifat global dalam Al-Qur’an. Contoh : Di dalam Al-Qur’an Allah U memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan sholat dan haji, lalu datang As-Sunnah menjelaskan secara rinci kaifiyat (tata cara) pelaksanaan kedua ibadah tersebut.Kebanyakan as Sunnah termasuk dalam jenis yang kedua ini
Terkadang As-Sunnah menetapkan hukum yang tidak disebutkan di dalam Al Qur’an. Contoh : Hukum mencukur alis, mengikir gigi, penjelasan tentang harta waris bagi nenek, hukum rajam bagi pezina yang sudah menikah dan lain-lain.

Featured Post

Sistem Informasi Kuis dan Materi (e-learning) 2019