Pengertian
Hadits, Sunnah, khobar dan Atsar Secara Bahasa dan Istilah
1. Definisi Hadits
Dalam kamus besar bahasa Arab
[al-‘ashri], Kata Al-Hadits berasal dari bahasa Arab “al-hadist” yang berarti
baru, berita. Ditinjau dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak
arti, dintaranya:
a. al-jadid (yang
baru), lawan dari al-Qadim (yang lama)
b. Dekat
(Qarib),lawan dari jauh (ba’id)
c. Warta berita
(khabar), sesuatu yang dipercayakan dan dipindahkan dari sesorang kepada orang
lain.
Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar
sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ
Artinya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan suatu
kabar (kalimat) yang semisal Al-Qur’an itu, jika mereka orang-orang yang benar”
(QS. At-Thur: 34).
Secara terminologis, hadits ini dirumuskan dalam
pengertian yang berbeda-beda diantara para muhadditsin dan ahli ushul.mereka
berbeda-beda pendapatnya dalam menta’rifkan Al-hadits. Perbedaan tersebut disebabkan
karena terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka
masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang
didalaminya.
Ibnu Manzhur berpendapat bahwa kata ini berasal dari
kata Al-Hadits, jamaknya: Al-Ahadits, Al-Haditsan dan Al-Hudtsan. Ada juga
sebagian Ulama yang menyatakan, bahwa ahadits bukan jamak dari haditsyang
bermakna khobar, tetapi meruppakan isim jamak.Mufrad ahadits yang sebenarnya,
adalah uhdutsah, yang bermakna suatu berita yang dibahas dan sampai dari
seseorang ke seseorang.(Hasbi Ashidiqi, sejarah pengantar ilmu
hadits : 2)
Menurut istilah ahli ushul fiqih, pengertian hadits
ialah:
كل ماصدر عن النبي صلى الله عليه وسلم
غيرالقرأن الكريم من قول او فعل اوتقرير مما يصله ان يكون دليلا لحكم شرع
“Hadits yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW selain Al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun
taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan dengan hukum syara”.
Sedangkan Ulama Hadits mendefinisikan Hadits sebagai
berikut:
كل ما أثرعن النبي صلى الله عليه وسلم من
قول او فعل اوتقرير اوصفة خلقية او خلقية
“Segala sesuatu yang diberikan dari Nabi SAW baik
berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi”.
Yang dimaksud dengan “hal ihwal” ialah segala yang
diriwayatkan dari Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah
kelahiran dan kebiasaan-kebiasaan.
Kedua hadits tersebut di atas menyatakan bahwa unsur
Hadits itu terdiri dari tiga unsur yang ketiga unsur ini hanya bersumber dari
Nabi Muhammad, ketiga unsur itu adalah:
a. Perkataan. Yang dimaksud
dengan perkataan Nabi Muhammad ialah sesuatu yang pernah dikatakan
oleh beliau dalam berbagai bidang.
b. Perbuatan. Perkataan Nabi
merupakan suatu cara yang praktis dalam menjelaskan peraturan atau hukum
syara’. Contohnya cara Sholat.
c. Taqrir. Arti taqrir adalah
keadaan beliau mendiamkam, tidak menyanggah atau menyetujui apa yang dilakukan
para sahabat.
Sementara kalangan ulama ada yang menyatakan bahwa apa
yang dikatakan hadits itu bukan hanya yang berasal dari Nabi SAW, namun yang
berasal dari sahabat dan tabi’in disebut juga hadits. Sebagai buktinya, telah
dikenal adanya istilah hadits marfu’, yaitu hadits yang dinisbahkan kepada Nabi
SAW, hadits mauquf, yaitu hadits yang dinisbahkan pada shahabat dan hadits
maqtu’ yaitu hadits yang
dinisbahkan kepada tabi’in.Jumhur Al-Muhadditsin berpendapat
bahwa pengertian hadits merupakan pengertian yang terbatas sebagai berikut:
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan,
penyataan (taqrir) dan sebagainya”
Sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Mahfuzh
Al-Tirmizi, yaitu:
أن الحديث لايحتث بالمرفوع اليه صلى الله
عليه وسلم بل جاء بلموقوف وهو ما أضيف الى الصحابى والمقطوع وهو ما أضيف للتبعي
Artinya: “Bahwasanya hadits itu bukan hanya untuk
sesuatu yang marfu’ yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan
bisa juga untuk sesuatu yang mauquf,yang disandarkan kepada sahabat dn yang
maqtu, yaitu yang disandarkan kepada tabi’in” Munzier Suparta (2001:3)
Berdasarkan pengertian hadits diatas maka kami
menyimpulkan bahwa hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW
baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau
ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Selain itu tidak
bisa dikatakan hadits karena ahli ushul membedakan diri Nabi Muhammad dengan
manusia biasa. Yang dikatakan hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi
dan ajaran Allah yang diemban oleh Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Ini pun,
menurut mereka harus berupa ucapan, perbuatan dan ketetapannya. Sedangkan
kebiasaan-kebiasaan, tata cara berpakaian dan sejenisnya merupakan kebiasaan
manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai
hadits. Dengan demikian, pengertian hadits menurut ahli ushul lebih sempit
dibanding dengan hadits menurut ahli hadits.
Disamping itu, ada beberapa kata yang bersinonim
(muradif) dengan kata hadits seperti: sunnah, khabar, dan atsar.
2. Definisi
Sunnah
Adapun menurut istilah, ta’rif Sunnah antara lain
sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad ajaj al-khathib:
ما أثر عن النبى ص.م من قول اوفعل
اوتقريراوصفةخلقية
Artinya: “Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan
hidup baik sebelum Nabi diangkat jadi rasul atau sesudahnya”.
Sabda Nabi SAW,
لتتبعن سنن من قبلكم شبرا بشبرودراعابدراع
حتى لودخلواحجرالضب لدخلتموه
Artinya:”sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah
(perjalanan-perjalan) orang yang sebelummu” sejengkal demi sejengkal, sehasta
demi sehasta. Sehingga sekiranya mereka memasuki seorang dan (berupa biawak)
sungguh kamu memasuki juga”. (HR. Muslim)
Menurut istilah as-sunnah adalah pensarah Al-Qur’an,
karena Rasulullah bertugas menyampaikan Al-Qur’an dan menjelaskan
pengertiannya. Maka As-asunnah menerangkan ma’na Al-Qur’an, adalah dengan cara:
a. Menerangkan
apa yang dimaksud dari ayat-ayat mudjmal, seperti menerangkan waktu-waktu
sembayang, bilangan raka’at, kaifiyat ruku’, kaifiyat sujud, kadar-kadar zakat,
waktu-waktu memberikan zakat, macam-macamnya dan cara-cara mengerjakan haji.
b. Menerangkan
hukum-hukum yang tidak ada didalam Al-Qur’an seperti mengharamkan kita menikahi
seseorang wanita bersamaan dengan menikahi saudaranya ayahnya, atau saudara
ibunya, seperti mengharamkan kita makan binatang-binatang yang bertaring.
c. Menerangkan
ma’na lafad, seperti mentafsirkan al maghdlubi ‘alaihim dengan orang yahudi dan
mantafsirkan adldlallin, dengan orang nasroni.
3. Khabar
Secara etimologis khabar berasal dari kata
:khabar, yang berarti ‘berita’.Adapun secara terminologis, para ulama Hadits
tidak sepakat dalam menyikapi lafadz tersebut.sebagaimana mereka berpendapat
adalah sinonim dari kata hadits dan sebagian lagi tidak demikian.Karena Khabar
adalah berita, baik berita dari Nabi SAW, maupun dari sahabat atau berita dari
tabi’in.
Sementara Khabar menurut ahli Hadits, yaitu : “Segala
sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW atau dari yang selain Nabi
SAW”.
Ulama lain mengatakan Khabar adalah sesuatu yang
datang selain dari Nabi SAW, sedang yang datang dari Nabi SAW disebut Hadits.
Ada juga ynag mengatakan bahwa Hadits lebih umum dan lebih luas daripada
Khabar, sehingga tiap Hadits dapat dikatakan Khabar, tetapi tidak setiap
Khabar dikatakan Hadits.
Karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa Khabar
itu menyangkut segala sesuatu yang datang dari selain Nabi SAW. Sedangkan
Hadits khusus untuk segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW.
4. Atsar
Atsar dari segi bahasa artinya bekas sesuatu atau
sisa. Sesuatu dan berarti pula nukilan (yang dinukilkan). Karena doa yang
dinukilkan / berasal dari Nabi SAW. Dinamkan doa maksur.
Sedangkan atsar menurut istilah terjadi perbedaan
pendapat diantara pendapat para ulama. Sedangkan menurut istilah:
ماروي عن الصحابة ويحوزاطلاقه على كلام
النبى ايضا
Artinya: “yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari
sahabat danboleh juga disandarkan pada perkataan Nabi SAW”.
Jumhur ulama mengatakan bahwa atsar sama dengan
khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabi’in.
sedangkan menurut ulama Khurasan bahwa atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk
yang marfu’. (Mudasir : 1999: 32).
B. Struktur
Hadist yang meliputi Sanad, Matan dan Mukharrij
1. Sanad
Kata “Sanad” menurut bahasa
adalah “sandaran” atau sesuatu yang akan dijadikan sandaran.
Dikatakan demikian, karena hadist bersandar kepadanya. Sedangkan menurut
istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jama’ah dan
Al-Thiby mengatakan bahwa : “Berita tentang jalan matan”.
Ada juga yang menyebutkan :“Silsilah para perawi yang
menukilkan hadist dari sumbernya yang pertama”
Yang berkaitan dengan istilah sanad,terdapat
kata-kata
seperti, al-isnad, al-musniddan al-musnad. Kata-kata ini
secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana yang
dikembangkan oleh para ulama.
Kata al-isnad berarti menyandarkan,
mengasalkan (mengembalikan ke asal) dan mengangkat. Yang dimaksud disini ialah
menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya (raf’u hadits ila qa ‘ilih
atau ‘azwu hadits ila qa’ilih). Menurut At-thiby,“Kata al-isnad dan al-sanad
digunakan oleh para ahli dengan pengertian yang
sama”.Kata al-musnad mempunyai beberapa arti, bisa berarti hadits
yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang, bisa berarti nama suatu kitab
yang menghimpun hadits-hadits dengan system penyusunan berdasarkan nama-nama
para sahabat, perawi hadits, seperti kitab Musnad Ahmad, bisa juga berarti nama
bagi hadits yang marfu’ dan muttashil.
2. Matan
Kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa
berarti Mairtafa’a min al-ardi (tanah yang meninggi). Sedangkan
menurut istilah ahli hadits adalah : “Perkataan yang disebut pada akhir
sanad, yakni sabda Nai SAW. Yang disebutkan sanadnya”.
3. Mukharrij
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk
pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa
diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik. sedangkan menurut istilah
mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam
suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang
(gurunya).
Di dalam suatu hadis biasanya disebutkan pada bagian
terakhir nama dari orang yang telah mengeluarkan hadis tersebut, semisal
mukharrij terakhir yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim,
ialah imam Bukhari atau imam Muslim dan begitu seterusnya. Seperti pada
contoh hadis yang pertama, pada bagian paling akhir hadis tersebut disebutkan
nama Al-Bukhari (رواه
البخاري) yang menunjukkan
bahwa beliaulah yang telah mengeluarkan hadis tersebut dan termaktub dalam
kitabnya yaitu Shahih Al-Bukhari. Begitu juga dengan contoh hadis kedua yang
telah mengeluarkan hadis tersebut ialah Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.
C. Kedudukan
dan Fungsi Hadist
Hadits Nabi SAW. Merupakan penafsiran Al-Qur’an dalam
praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Demikian ini
mengingat bahwa pribadi Rasulullah merupakan perwujudan dari Al-Qur’an yang
ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Adapun kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an, sedikitnya
mempunya tiga fungsi pokok yaitu:
1. Memperkuat dan menetapkan
hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an (sebagai bayan taqrir).
2. Memberikan penafsiran
terhadap ayat-ayat yang masih bersifat mujmal dan bersifat mutlak (bayan
tafsir). Penjelasan (penafsiran) Rasulullah terhadap ayat-ayat yang demikian,
dapat berupa:
a. Menafsirkan kemujmalannya
seperti pemerintah mengerjakan salat, membayar zakat, dan menunaikan haji.
b. Menaqyidkan (memberikan
persyaratan), misalnya ketentuan tentang anak-anak dapat memusakai harta orang
tuanya dan keluarganya didalam Al-Qur’an dilukiskan secara umum.
c. Memberikan kekhususan (bayan
takhsis), ayat yang masih bersifat umum, misalnya tentang keharaman bangkai dan
darah.
3. Menetapkan hukum
aturan-aturan yang tidak didapati( diterangkan di dalam Al-Qur’an), misalnya
dalam masalah perkawinan (nikah).
Adapun fungsi perbandingan hadits dengan Al-Qur’an,
Sunnah atau hadits dalam Islam merupakan sumber hukum kedua dan kedudukannya
setingkat lebih rendah dari pada Al-Qur’an.Al-Qur’an adalah kalamullah yang
diwahyukan Allah lewat Malaikat Jibril secara lengkap berupa lafaz dan sanadnya
sekaligus, sedangkan lafaz hadits bukanlah dari Allah melainkan dari Nabi
sendiri.Dari segi kekuatan dalalah-nya, Al-Qur’an adalah mutawatir yang
Qat’i sedangkan hadits kebanyakannya khabar ahad yang hanya
memilikidalalah Danni. Sekalipun ada hadits yang mencapai martabat mutawatir
namun jumlahnya hanya sedikit.Para sahabat mengumpulkan Al-Qur’an dalam mushaf
dan menyampaikan kepada umat dengan keadaan aslinya, satu huruf pun tidak
berubah atau hilang. Dan mushaf itu terus terpelihara dengan sempurna dari masa
ke masa.
Sedangkan hadits tidak demikan keadaannya, karena
hadits Qauli hanya sedikit yang mutawatir. Kebayakan hadits yang mutawatir mengenai
amal prakter sehari-hari seperti bilangan rakaat salat dan
tatacaranya.Al-Qur’an merupakan hukum dasar yang isinya pada umumnya bersifat
mujmal dan mutlak. Sedangkan hadits sebagai ketentuan-ketentuan pelaksanaan
(praktisnya).
D. Hubungan
Alquran dengan Sunnah
As Sunnah bersama Al Qur’an berada dalam martabat yang satu jika ditinjau
dari segi keberadaannya sebagai hujjah dalam syari’at ini.
Karenanya ketika kita mendapati beberapa nash yang kelihatannya bertentangan
diantara keduanya (Al Qur’an dan As Sunnah) tidak boleh kita langsung
meninggalkan As Sunnah dengan alasan bertentangan dengan dalil yang lebih
tinggi martabatnya, bahkan keduanya harus digabungkan kemudian dicari jalan
keluarnya.
Ditinjau dari
segi hukum maka hubungan Al Qur’an dengan As Sunnah adalah :
1.
Terkadang As-Sunnah
berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah tercantum di dalam Al-Qur’an. Contoh
: Hukum jilbab dan menundukkan pandangan.
2.
Terkadang As-Sunnah
menafsirkan dan merinci hal-hal yang masih bersifat global dalam Al-Qur’an.
Contoh : Di dalam Al-Qur’an Allah U memerintahkan kaum muslimin untuk
melaksanakan sholat dan haji, lalu datang As-Sunnah menjelaskan secara rinci
kaifiyat (tata cara) pelaksanaan kedua ibadah tersebut.Kebanyakan as Sunnah
termasuk dalam jenis yang kedua ini
Terkadang
As-Sunnah menetapkan hukum yang tidak disebutkan di dalam Al Qur’an. Contoh :
Hukum mencukur alis, mengikir gigi, penjelasan tentang harta waris bagi nenek,
hukum rajam bagi pezina yang sudah menikah dan lain-lain.