Klasifikasi
Hadits Dilihat Dari Kuantitas Perawinya
Ditinjau dari segi kuantitas perawinya, hadits
dibedakan menjadi dua yaitu:
1. HADITS MUTAWATIR
·
Pengertian
Secara lughowi istilah mutawatir berasal dari isim
fail musytaq dari al-tawatur yang berarti tatabu’ (datang berturut-turut dan
beriringan satu dengan yang lainnya). Seperti dalam Q.S. al-mu’minun (23) : 44.
ثُمَّ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَىٰ ۖكُلَّ مَا جَاءَ أُمَّةً رَسُولُهَا كَذَّبُوهُ ۚفَأَتْبَعْنَا بَعْضَهُمْ بَعْضًا وَجَعَلْنَاهُمْ أَحَادِيثَ ۚفَبُعْدًا لِقَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ
Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) Rasul-rasul
Kami berturut-turut. Tiap-tiap seorang Rasul datang kepada umatnya, umat itu
mendustakannya. Maka Kami perikutkan sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Dan Kami jadikan mereka buah tutur (manusia). Maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang tidak beriman(QS
Al-Mu’minun : 44)
Secara istilah yang dimaksud dengan mutawatir adalah
hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat dalam setiap tingkatan satu
dengan lainnya dan masing-masing periwayat tersebut semuanya adil yang tidak
memungkinkan mereka itu semuanya sepakat berdusta atau bohong semuanya
bersandar pada panca indra. [1]
Hadits mutawatir berada pada tingkatan paling tinggi dalam hal meyakinkan penerima informasi. Ia sejajar dengan
Al-Qur’an, dalam arti sama diriwayatkan secara mutawatir. Segolongan ulama’
berkata bahwa ilmu (keyakinan) yang diperoleh dari khabar mutawatir sama dengan
keyakinan yang didapati dari melihat dengan mata kepala sendiri. Para ulama’
sependapat bahwa hadits mutawatir harus diterima sebagai berasal dari Nabi.
Daya ikat hadits mutawatir ini disebut di dalam kitab-kitab bahwa orang-orangIslam.
·
Hukum hadits Mutawatir
1.
Berfaidah
keyakinan. Bahwa hadits mutawatir memberi faidah harus diyakini apa adanya. Ini
disebut sebagai ilmu dharuri yang tidak lagi dapat ditawar kebenarannya. Orang
harus meyakini bahwa apa yang diriwayatkan para perawi memang pernah
disampaikan atau dilakukan oleh Rosulullah melihat kuantitas perawi yang tidak
mungkin bersepakat berdusta.
2.
Pasti shahih. Maka
tidak dibutuhkan pembahasan mengenai hal ihwal periwayatannya.
3.
Wajib meyakini
keshahihannya seperti meyakini Al-Qur’an. Bahwa mengingkari hadits mutawatir
dapat menyebabkan kekufuran.
4.
Wajib mengamalkannya.
Maksudnya, bila disana Nabi menyebut perintah, maka harus dilaksanakan,
sebaliknya bila disana Nabi melarang, maka harus disingkiri.
·
Syarat-syarat Hadits Mutawatir.
1.
Bilangan atau
jumlah periwayatnya banyak.
Dalam hal ini para ulama’ berselisih tentang
jumlahnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa paling sedikit adalah 4 orang
periwayat berdasarkan pemahaman atas Q.S. an-Nur (24):13.
mengapa mereka
(yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?
Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka itulah pada sisi
Allah orang- orang yang dusta (QS An-Nur :13)
Ada
yang berpendapat 5, sebagai pemahaman mengertai ayat-ayat yang menerangkan
tentang mula’anah. Ada pendapat lain yang mengatakan minimal 10 periwayat
karena dengan alasan jumlah kurang dari 10 merupakan bilangan satuan. Di
samping itu masih banyak yang berpendapat bahwa mutawatir berjumlah sepuluh,
dua belas, dua puluh, empat puluh, tujuh puluh, bahkan ada yang mengatakan
lebih dari tiga ratus perawi.
Banyaknya
periwayat dari awal sanad sampai akhir cenderung stabil. Jumlah periwayatnya
imbang masing-masing tingkatan, yaitu tidak gemuk di satu tingkatan sedang
ditingkatan lainnya kecil. Atau dengan kata
lain, jumlah periwayatnya dari generasi satu ke generasi yang lainnya bertambah tidak berubah menjadi
sedikit. Tidak adanya kesepakatan mereka untuk berdusta. Oleh karena itu, isi
atau teks hadits yang diriwayatkan diantara mereka nyata atau tidak ada
perbedaan satu dengan yang lainnya. Atau dengan kata lain, mereka tidak
berdusta atas yang disampaikannya merupakan benar-benar dari Rasulullah SAW.
2.
Semuanya bersandar pada panca indra.
Persyaratan ini menjadikan hadits mutawatir mencapai
derajat yang tiggi karena transmisinya dilakukan dengan metode al-sama’. Dalam pandangan ulama’ metode
penyampaian hadits tersebut merupakan metode yang terbaik dalam periwayatan
hadits atau kegiatan tahammul wa al-ada’. [2]
Metode
menggunakan selain panca indera tidak dibenarkan, semisal pemikiran manusia
mengenai sesuatu. Contoh angka satu merupakan hasil pengurangan dua dikurang
satu, dan lain sebagainya.
3.
Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam
thabaqoh pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thobaqoh berikutnya.
Oleh karena itu, kalau suatu hadits diriwayatkan oleh
sepuluh sahabat umpamanya, kemudian diterima oleh lima orang tabi’in dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang tabi’it-tabi’in,
bukan hadits mutawatir. Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara
thabaqoh pertama, kedua dan ketiga.
·
Pembagian Hadits Mutawatir.
Para ahli ushul membagi hadits mutawatir kepada dua
bagian. Yakni mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi.
1. Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat (mutawatir)
dari sisi lafalnya. Lafadz tersebutantara satu dengan lainnya sama dengan hadits Nabi Muhammad
SAW.
Contoh
adalah hadits mengenai bacaan ta’awudz:
لقد
قرأت على عبدالله بن مسعود فقلت أعوذ بالسميع العليم فقال قل اعوذ بالله من
الشيطان الرجيم قل فلقد قرأت على رسول الله صلعم فقلت أعوذ بالسميع العليم فقال لى
يا ابن ام عبد قل اعوذ بالله من الشيطان
الرجيم هكذا أقرأنيه جبريل عن القلم عن اللوح المحفوظ.
2. Hadits
mutawatir ma’nawi adalah hadits yang rawi-rawinya
berlainan dalam menyusun redaksi pemberitaanya, tetapi berita yang berlainan
tersebut terdapat pesesuaian pada prinsipnya. Contoh hadits ini adalah hadits yang menerangkan
kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini berjumlah sekitar
seratus hadits dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik
persamaan, yaitu keadaan Nabi Muhammad mengangkat tangan saat berdo’a.
Namun
ada ulama yang mengatakan bahwa hadits mutawatir terbagi menjadi tiga, yaitu dengan
menambahkan hadits amali sebagaimana penjelasan Sayyid Abdul majid al-Ghouri
dalam kitabnya “al-Muyassar fi ‘ulum al-Hadits”.
3. Hadits
mutawatir amali merupakan hadits yang diambil
oleh orang-orang, semisal dari satu bangsa ke bangsa lainnya, dan karenanya
tidak membedakan antara satu mukmin dengan mukmin lainnya seperti shalat lima
waktu, puasa bulan Ramadhan, haji dan lain-lain. Semua itu dilakukan berdasar
mutawatir amali dari nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti para sahabat hingga
sampailah pada era sekarang ini. Keseluruhannya tidak berbeda dalam
pelaksanaan, baik bangsa barat maupun bangsa timur.
Dalam
segi perawian hadits mutawatir, ada sebuah contoh metode yang masih terus
dilakukan oleh umat muslim hingga kini. Metode itu biasa disebut dengan musalsal,
yaitu meriwayatkan hadits nabi secara mutawatir baik dari segi lafadz, makna
dan pengamalannya. Sebagai contoh ialah musalsal bi a’udzubillahi mina
asy-syaithoni ar-rajim, musalsal bi al-fatihah, musalsal bil buka’ dan musalsal
bil musyabakah.
·
Faedah hadits mutawatir
Hadits mutawatir itu memberikan faedah ilmu dhoruri,
yakni keharusan untuk menerimanya dan mengamalkan sesuai dengan yang
diberitakan oleh hadits mutawatir tersebut hingga membawa pada keyakinan qoth’i (pasti).
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa suatu hadits dianggap
mutawtir oleh sebagian golongan membawa keyakinan pada golongan tersebut,
tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak menganggap bahwa hadits tersebut
mutawatir. Barang siapa telah meyakini ke-mutawatir-an hadits diwajibkan untuk mengamalkannya
sesuai dengan tuntutannya. Sebaliknya bagi mereka yang belum mengetahui dan
meyakini kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan hadits
mutawatir yang disepakati oleh para ulama’ sebagaimana kewajiban mereka
mengikuti ketentuan-ketentuan hokum yang disepakati oleh ahli ilmu.
Para perawi hadits mutawatir tidak perlu dipersoalkan,
baik mengenai keadilan maupun
kedhobitannya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana
telah ditetapkan di atas,
menjadikan mereka tidak munkin sepakat melakukan dusta.
- Hadits Ahad
·
Pengertian Hadits Ahad
Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti
satu, maka khobar ahad atau khobar wahid berarti suatu berita yang disampaikan
oleh orang satu.
Adapun yang dimaksud hadits ahad menurut istilah,
banyak didefinisikan oleh para ulama’, antara lain:
Hadits ahad adalah khobar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah perowi
hadits mutawatir, baik perowi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya
yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah
perowi hadits mutawatir. Ada juga ulama’ yang
mendefinisikan hadits ahad secara singkat yaitu: hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits mutawatir.
Muhammad Abu Zarhah mendefinisikan hadits ahad yaitu tiap-tiap
khobar yang yang diriwayatkan oleh satu,dua orang atau lebih yang diterima oleh
Rosulullah dan tidak memenuhi persyaratan hadits mutawatir.
Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan hadits ahad adalah
hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sejumlah orang tetapi jumlahnya
tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadits mutawatir. Keadaan perawi seperti
ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi terakhir. [3]
·
Pembagian Hadits Ahad
Para muhadditsin membagi atau memberi nama-nama
tertentu bagi hadits ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada
pada tiap-tiap thabaqot, yaitu hadits masyhur, hadits aziz, hadits
farad dan hadits ghorib.
1. Hadits Masyhur
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau
lebih dan tidak sampai pada batasan mutawatir. Ibnu
Hajar mendefinisikan hadits masyhur secara ringkas, yaitu hadits yang mempunyai
jalan terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas
hadits mutawatir.
Hadits ini dinamakan masyhur karena telah tersebar
luas dikalangan masyarakat. Ada ulama’ yang memasukkan seluruh hadits yang
popular dalam masyarakat, sekali pun tidak mempunyai sanad, baik berstatus
shohih atau dhi’if ke dalam hadits masyhur. Ulama’ Hanafiah mengatakan bahwa
hadits masyhur menghasilkan ketenangan hati, kedekatan pada keyakinan dan kewajiban untuk diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya
tidak dikatakan kafir.
Hadits masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan
dhaif. Yang dimaksud dengan hadits masyhur sahih adalah hadits masyhur yang
telah mencapai ketentuan-ketentuan hadits sahih baik pada sanad maupun matannya.
Hadits
masyhur terbagi atas
v Masyhur
mutlak yaitu hadits yang terkenal baik di kalangan ahli hadits maupun lainnya
semisal:
إنماالاعمل
بالنيات
v Masyhur
muqayyad yaitu hadits yang terkenal antarkalangan ahli hadits saja seperti
hadits Anas
قنت شهرا بعد الركوع يدعو على رعل
وذكوان
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur hasan
adalah apabila telah mencapai ketentuan hadits hasan, begitu juga dikatakan
dhoif jika tidak memenuhi ketentuan hadits sahih.
Hadits
masyhur disebut juga dengan hadits mustafidl. Disebutkan bahwa hadits mustafidl
ialah hadits masyhur yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap
tingkatan.
2. Hadits Aziz
Dinamakan Aziz karena kelangkaan hadits ini. Sedangkan pengertiannya adalah
hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua. Sebagai contoh ialah hadits “laa yu’minu ahadukum hatta akuna ahabba
ilaihu min waalidihi wawaladihi wannasi ajma’in”. Diriwayatkan dari Anas oleh
dua orang: Qotadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Dan dari Abdul Aziz kepada
Isma’il bin Alayyah dan Abdul Warits.
3. Hadits Ghorib
Adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi saja.
Hadits Ghorib terbagi menjadi dua: yaitu ghorib mutlaq dan ghorib nisbi. Ghorib mutlaq
terjadi apabila penyendirian perawi hanya terdapat pada satuthabaqat.
Hadits ghorib nisbi terjadi apabila penyendiriannya
mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang perawi. Penyendirian seorang
rawi seperti ini bisa terjadi berkaitan dengan ketsiqahan rawi atau
mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.
Di
banyak kitab-kitab atau buku-buku yang membahas ilmu hadits dijelaskan bahwa
tiga jenis inilah pembagian daripada hadits ahad. Sebagian ulama’ mengatakan
bahwa hadits fard merupakan jenis dari hadits ahad. Namun beberapa lainnya
menganggap antara hadits Fard dan Ghorib sama. Yang membedakan hanya dari segi
penyebutannya saja. Beberapa ahli hadits mengatakan al-fard mendominasi
(al-fard al-mutlaq) sementara ghorib mendominasi (al-fard an-nisbi).
Dalam
Minhatul Mughits karangan Hafidz Anas dijelaskan bahwa hadits ghorib terbagi
atas dua bagian, mutlak dan nisbi. Mutlak ialah sendirinya hadits sahabat atau
tabi’in. Nisbi ialah selain sahabat dan tabi’in.
·
Hukum Hadits Ahad
Hukum
hadits ahad, sebagaimana dikatakan oleh al-hafidz Ibnu Hajar menurut jumhur
ulama ialah dapat diterima dalam artian tidak wajib mengamalkannya. Adapun yang
ditolak, yaitu hadits ahad yang tidak memiliki landasan kebenaran atas
pembahasan mengenai tingkah rawi selain yang pertama, yaitu mutawatir. Semua
mutawatir itu diterima karena dijaminnya kebenaran periwayatannya.
Akan
tetapi sesungguhnya wajib mengamalkan sebab diterimanya apabila menemukan di
dalamnya sifat asal diterima, yaitu ditetapkannya kebenaran periwayat (adil dan
terpecaya). Atau asal penolakan yaitu ditetapkannya kebohongan periwayatan,
ataupun tidak (yaitu tidak sesuai dengan kriteria asal sifat diterimanya, tidak
dengan asal sifat penolakan. Maka hal ini mencakup dengan diterima dan ditolak
seperti jeleknya hafalan dan dianggap bodoh).
v Pertama
(diterima) mencakup keyakinan kebenaran riwayat untuk menetapkan kebenaran
pengambilannya, maka boleh mengambilnya.
v Kedua
(ditolak) meliputi keyakinan kebohongan cerita. Maka ditolak.
v Ketiga
(ditolak/diterima) apabila menemukan alasan (sifat atau tingkah) yang mencakup
satu dari dua jenis kebenaran. Apabila tidak, maka hal ini terhenti. Ketika
terjadi penghentian pengamalan, hadits menjadi seperti ditolak. Bukan sebab
ditetapkannya sifat penolakan, tetapi karena tidak ditemukannya sifat wajib
diterimanya hadits tersebut.