Wednesday, December 6, 2017

Hadits Dha’if dan Macam-macam Hadits Dhoif karena ketercelaan Sanadnya


 Definisi Hadits Dha’if

Kata dha’if menurut bahasa berasal dari kata dhuifun yang berarti lemah lawan dari kata qawiy yang berarti kuat. Sedangkan dha’if  berarti hadits yang tidak memenuhi hadits hasan.  Hadits dhaif disebut juga hadits mardud (ditolak).
Kata dha’if menurut bahasa berarti ‘ajiz atau lemah sebagai lawan dari kata qawiy atau yang kuat. Adapun lawan dari kata shahih adalah kata dha’if yang berarti saqim atau yang sakit. Sebutan hadits dha’if secara bahasa bearti hadits yang lemah atau hadits yang kuat ( Ranuwijaya dikutip Suyitno, 2008). Menurut Suyitno (2010) mengemukakan bahwa secara istilah ada beberapa definisi hadits dha’if yang dikemukakan oleh para ulama, seperti :
1.      Dalam hal ini Al-Nawawi mendefinisikan hadist dhaif sebagai:
ﻣَﺎﻟﻢﻳﻮﺟﺪﻓﻴﻪﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺼﺤﺔﻭﻻﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺤﺴﻦ
 “ Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan
Menurut Firmadani (2012) mengatakan bahwa tidak terkumpulnya sifat-sifat yang menjadikannya dapat diterima, syarat diterima suatu hadits, antara lain:
1.      Memiliki sanad hingga kepada Nabi Saw
2.      Sanadnya bersambung
3.      Rawinya’adil dan dhabith
4.      Tidak mengandung syadz
5.      Tidak ada illah (http://www.Firmadani.com/pengetahuan-hadits-dhaif-dan-pembagiannya/).
2.      Sementara Ajjaj al-khatib  mendefinisikan hadits dha’if sebagai berikut:
ﻛﻞﺣﺪﻳﺚﻟﻢﻳﺠﺘﻤﻊﻓﻴﻪﺻﻔﺎﺕﺍﻟﻘﺒﻮﻝ
Segala hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul
3.      Kemudian Nur al-Din  mendefnisikan hadits dha’if sebagai berikut:
ﻣﺎﻓﻘﺪﺷﺮﻁﺎﻣﻦﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺤﺪﻳﺚﺍﻟﻤﻘﺒﻮﻝ
Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadist maqbul
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dha’if adalah hadits yang kehilangan salah satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Kemudian dha‘if-an atau kelemahan suatu hadits bisa terjadi pada sanad maupun matan. Kelemahan pada sanad bisa terjadi pada persambungan sanadnya atau ittishal al-sanad-nya dan bisa terjadi pada kualitas te-tsiqah-anny. Sedangkan kelemahan pada matannya bisa terjadi pada sandaran matan itu sendiri dan bisa pada kejanggalannya atau ke-syazannya.

Klasisifikasi Hadist Dha’if
Hadits dha’if termasuk banyak ragamnya dan mempunyai perbedaaan dan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shahih atau hasan yang tidak dipenuhinya. Misalnya hadits dha’if yang karena tidak bersambung sanadnya dan tidak adil periwayatnya.
Menurut Suyitno (2008) mengatakan bahwa kelemahan  atau dha’if-an pada suatu hadits dapat terjadi diberbagai sudutnya antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:

1.        Ke-dha’if-an dari Segi Sanadnya yang Terputus
Menurut Suyitno (2008) mengemukakan bahwa apabila dilihat dari segi terputusnya sanad, hadits dha’if menjadi lima macam, yakni:
a.         Hadits Mursal
Kata mursal merupakan isim maf’ul dari kata arsala yang berati melepaskan (Atar dikutip Suyitno, 2008). Secara istilah:
ﻫﻮﺍﻟﺬﻯﻳﺴﻘﻄﻣﻦﺍَﺧﺮﺳﻨﺪﻩﻣﻦﺑﻌﺪﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻰ
“Hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seorang setelah tabi’iy.
Contoh hadits yang diriwayatkan oleh al-Syafi’iy (Nur al Din Atar. Op. cit. hal.167) :

ﺃﺧﺒﺮﻧﺎﺳﻌﻴﺪﻋﻦﺑﻦﺟﺮﻳﺞﻗﺎﻝﺃﺧﺒﺮﻧﻰﺣﻤﻴﺪﺍﻻﻋﺮﺝﻋﻦﻣﺠﺎﻫﺪأﻧﻪﻗﺎﻝﻛﺎﻥﺍﻟﻨﺒﻰﺻﻠﻰﺍﷲﻋﻠﻴﻪﻭﺳﻠﻢﻳﻆﻬﺮﻣﻦﺍﻟﺘﻠﺒﻴﺔ:ﻟﺒﻴﻚﺍﻟﻠﻬﻢﻟﺒﻴﻚ
Dalam hadits tersebut Mujahid merupakan seorang ‘abi’in dan dan tidak pernah berjumpa dengan Rasullah saw, serta tidak menyebutkan perantara antara dirinya dengan Rasullah saw hingga mendapatkan hadits tersebut, sehingga hadits tersebut disebut hadits mursal.
Hadist mursal ini masuk kedalam kategori hadits mardud, karena jenis dan sifat perawi yang digugurkannya tersebut tidak jelas, apakah sahabat ataukah tabi’in.
b.      Hadits Munqathi’
Kata munqathi’ merupakan isim fa’il dari inqatha’a lawan dari ittishal yang artinya hadits yang terputus. Secara istilah hadis munqathi’ adalah:
ﺍﻟﻤﻨﻘﻂﻊﻫﻮﺍﻟﺤﺪﻳﺚﺍﻟﺪﻯﺳﻘﻄﻣﻦﺭﻭﺍﺗﻪﺭﺍﻭﺍﻭﺣﺪﻗﺒﻞﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻰﻓﻰﻣﻮﺿﻊﻭﺍﺣﺪﺍﻭﻣﻮﺍﺿﻊﻣﺘﻌﺪﺩﺓﺑﺤﻴﺚﻻﺑﺰﻳﺪﺍﻟﺴﺎﻗﻄﻓﻰﻛﻞﻣﻨﻬﻤﺎﻋﻠﻰﻭﺍﺣﺪﻭﺍﻻﻳﻜﻮﻥﺍﻟﺴﺎﻗﻄﻓﻰﺍﻭﻝﺍﻟﺴﻨﺪ
“Hadits muqathi’ adalah hadits yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat disatu tempat atau beberapa tempat dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad”.
Definisi tersebut menjadikan hadits munqathi berbeda dengan hadist lain, contohnya adalah :
ﺣﺪﺛﻨﺎﺷﺠﺎﻉﺑﻦﻣﺨﻠﺪﺛﻨﺎﻫﺴﻴﻢﺃﺧﺒﺮﻧﺎﻳﻮﻧﺲﺑﻦﻋﺒﻴﺪﻋﻦﺍﻟﺤﺴﻦﺃﻥﻋﻤﺮﺟﻤﻊﺍﻟﻨﺎﺱﻋﻠﻰﺃﺑﻲﺑﻦﻛﻌﺐﻓﻜﺎﻥﻳﺼﻠﻰﻟﻬﻢﻋﺸﺮﺑﻦﻟﻴﻠﺔﻭﻻﻳﻘﻔﺖﺑﻬﻢﺇﻻﰱﺍﻟﻨﺼﻒﺍﻟﺒﺎﻗﻰ....
Hadits tersebut munqathi’ karena Hasan Bashri dilahirkan pada tahun 21 H sedangkan Umar Bin Khattab wafat tahun 23 H atau pada awal muharam tahun 23 H, sehingga tidak mungkin Hasan Bashri mendengar dari Umar Bin Khattab (Rahman dikutip Suyitno, 2008).
c.          Hadits Mu’dhal
Kata mu’dhal merupakan isim maf’ul dari fi’il a’dhala yang artinya memayahkan atau memberatkan atau tempat melemahkan. Secara istilah hadits mu’dhal adalah:
ﻣﺎﺳﻘﻄﻣﻦﺭﻭﺍﺗﻪﺍﺛﻨﺎﻥﺃﻭﺍﻛﺜﺮﻋﻠﻲﺍﻟﺘﻮﺍﻟﻰﺳﻮﺍﺀﺳﻘﻄﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻰﻭﻟﺘﺎﺑﻌﻰﺃﻭﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻰﻭﺗﺎﺑﻌﻪﺃﻭﺛﻨﺎﻥﻗﺒﻠﻬﻤﺎ
“Hadits yang gugur rawi-rawinya dua orang rawi atau lebih, baik bersama sahabat tabi’in, tabi’in bersama tabi’it tabi’in, maupun dua orang sebelum sahabat dan tabi’in.
Definisi tersebut memberikan pemahaman tentang hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawi atau lebih dari awal sanad-nya. Contohnya hadits mu’dhal adalah hadits yang diriwayatkan al-Syafi’I :
ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ)ﺃﺧﺒﺮﻧﺎﺳﻌﻴﺪﺑﻦﺳﺎﻟﻢﻋﻦﺍﺑﻦﺟﺮﺍﻥﺭﺳﻮﻝﺍﷲﺻﻠﻰﺍﷲﻋﻠﻴﻪﻭﺳﻠﻢﻛﺎﻥﺇﺫﺍﺭﺃﻯﺍﻟﺒﻴﺖﺭﻓﻊﻳﺪﻳﻪ)
Dalam hadits tersebut antara Ibnu Juraij dengan Rasullah sal ada dua perantara, yaitu tabi’in dan shabat. Karena tabi’in dan sahabat tidak disebut dalam sanad hadits tersebut maka riwayat hadits tersebut disebut mu’dhal. Hadis mudallas ini dihukum lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah (Rahman dikutip Suyitno, 2008)..


d.         Hadits Mudallas
Kata Mudallas merupakan isim maf’ul dari kata tadlis yang berarti gelap. Hadits ini dinamakan demikian dikarnakan mengandung kesamaran dan ketutupan. Secara istilah hadits mudallas adalah:
ﻣﺎﺭﻭﻯﻋﻠﻰﻭﺟﻪﻳﻮﻫﻢﺃﻧﻪﻻﻋﻴﺐﻓﻴ
“Hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak ternoda” (Rahman dikutip Suyitno, 2008).
Menurut Ibid dikuti Suyitno (2008) mengatakan bahwa hadits mudallas terbagi menjadi tiga yaitu
Pertama, mudallas isnad yaitu hadits yang disampaikan oleh seorang rawi dari orang yang sezaman dengannya dan ia bertemu dengan orang tersebut, tetapi ia tidak mendengar hadits yang diriwayatkan itu darinya atau orang yang semasa dengannya tetapi ia seolah-olah mendengar darinya.
Kedua, mudallas syuyukh yaitu hadits yang diriwayatkan seorang rawi dari gurunya dengan menyebut nama kuniyahnya, mana keturunannya atau mensifati gurunya dengan sifat-sifat yang tidak atau belum dikenal orang banyak.
Ketiga, mudallas taswiyah yaitu bila seorang rawi meriwayatkan dari perawinya yang tsiqah yang oleh guru tersebut diterima oleh guru yang lemah dan guru yang lemah ini menerima dari guru yang tsiqah tapi si mudalis meriwayatkan tanpa menyebut nama rawi yang lemah bahkan ia meriwayatkan dengan lafaz yang mengandung pengertian bahwa semua perawinya tsiqah.
e.       Hadits Mu’allaq
Kata mu’allaq merupakan isim maf’ul dari fi’il ‘allaqa yang berhati menghubungkan, menguatkan dan menjadikannya sebagai sesuatu yang tergantung atau digantungkan. Hadits ini dikatakan mu’allaq karena sanadnya hanya ittishal dengan bagian atas, namun terputus dengan bagian bawah (Jumantoro dikutip Suyitno, 2008). Sedangkan menurut istilah hadits mu’allaq adalah hadits yang gugur rawinya, seorang atau lebih dari awal sanadnya (Rahman dikutip Suyitno,2008).
Menurut Jumantoro dikutip Suyitno (2008) mengatakan bahwa ada beberapa pendapat ulama tentang hokum hadits mu’allaq, yaitu:
1.      Hadits mu’allaq pada prinsipnya dikelompokkan kepada hadits dha’if (mardud) disebabkan karena sanad yang digugurkan itu tidak diketahui sifat-sifat dan keadaan-keadaanya secra menyakini baik mengenai ke’adilannya maupun kedhabitannya, kecuali yang digugurkan itu adalah seorang sahabat yang sudah terkenal ke’adilannya.
2.      Hadits mu’allaq bisa dianggap shahih bila sanad yang digugurkan ini disebutkan oleh hadits lain yang shahih.

2.         Macam-macam Hadits Dhoif karena ketercelaan Sanadnya
Menurut Suyitno (2008) mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan kedho’if-an dari sudut kecacatan rawinya, hal ini disebabakannya ada yang menyatakannya hadits maudhu’ sebagai bagian dari hadits dan ada yang tidak memasukkan hadits maudhu’ sebagai bagian dari hadits menyatakan hadits maudhu’ sebagai hadits dha’if dari segi kecacatan rawinya dan mereka  berpendapat bahwa hadits dho’if terbagi menjadi 12 macam. Sebaliknya ulama yang tidak mengganggap hadits maudhu’ bagaian dari hadits tidak memasukkannya kebagian dari hadits dho’if dan berpendapat hadits dho’if ada 11 macam , yakni :
1.      Hadits matruk, yaitu hadits yang menyendiri dalam periwayatannya, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam ilmu haditsatau Nampak kefasikannya baik pada perkataannya maupun perbuatannya atau orang yang banyak lupa dan banyak ragu. Perawi yang meriwayatkan hadits ini disebut matruk al-hadits (orang yang ditinggalkan hadits). Para muhaditsin memandang hadits matruk adalah hadits yang sangat lemah setelah hadits maudhu’ (Shalih dikutip Suyitno, 2008).
2.      Hadits munkar dan ma’ruf. Hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya dan banyak kelengahannya atau jelas kefasikannya yang bertentangan dengan periwayatan orang yang terpercaya (Shalih dikutip Suyitno, 2008). Lawan dari hadits munkar adalah hadits ma’ruf yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (Rahman dikutip Suyitno, 2008).
3.      Hadits mu’alal, yaitu hadits yang pada lahiriahnya tidak ada cacat, namun setelah diadakan penelitian dan penyelidikan terdapat ‘illat baik pada sanadnya atau matannya.
4.      Hadits mudraj, yaitu hadits yang disadur dengan sesuatu yang buka hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits. Saduran ini dapat terjadi pada sanad ataupun pada matan, saduran pada matan dapat terjadi diawal, ditengah maupun diakhir. Contoh saduran dalam sanad adalah seorang rawi memasukkan hadits lain kedalam hadits yang diriwayatkan yang berbeda sanadnya atau dengan menyisipkan oran ain yang bukan rawi sebenarnya.
5.      Hadits maqlub, yaitu hadits mukhalafah (menyalahi hadits lain) baik disebabkan karena mendahulukan atau mengakhirkan. Tukar menukar kalimat pada matan hadits baik disebabkan karena mendahulukannya pada tempat lain dan ini adakalanya terjadi pada matan hadits dan adakalanya pada sanad hadits.
6.      Hadits mudltharib, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan beberapa jalan yang berbeda yang tidak mungkin dikumpulkan atau ditarjih.
7.      Hadits muharraf, yaitu hadits yang mukhalafahnya (bersalahannya dengan hadits riwayat orang lain), terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata dengan masih tetapnya bentuk tulisan. Yang dimaksud syakal disini adalah tanda hidup (harakat) dan tanda mati.
8.      Hadits mushahaf, yaitu hadits yang mukhalafahnya terjadi pada titik kata sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. Hadits  mushahaf ini terbagi dua, yakni mushahaf fi al-matan dan mushahaf bi al-sanad (Rahman dikutip Suyitno, 2008).
9.      Hadits mubham, majhul dan mastur. Hadits mubham adalah hadits yang dlam sanad atau matannya terdapat seorang rawi yang tidak jelas apakah ia laki-laki ataukah perempuan. Ke-ibham-an dalam hadits ini terjadi karena tidak disebutkan nama rawinya atau disebutkan namun tidak dijelaskan siapa yang sebenarnya yang dimaksud dengan nama itu.
10.  Hadits syadz dan makhfudh, hadits syadz yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul (tsiqah) yang menyalahi riwayat orang yang lebih rajin karena mempunyai kelebihan kedhabitan atau banyaknya sanad atau lainnya dari segi pentarjihan.
11.  Hadits mukhtalith, yaitu haidts yang rawinya buruk hafalannya disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, atau terbakar/hilang kitab-kitabnya. Yang dimaksud buruk hafalannya adalah salahnya lebih banyak dari pada betulnya, hafalan tidak lebih banyak daripada lupanya.
Menurut Asrukin (2007) mengatakan bahwa adapun macam-macam hadits dhoif berdasarkan kecacatan perawinya:
1.      Hadits Maudhu’, adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka katakana bahwa itu adalah sabda Nabi SAW, baik hal itu disengaja maupun tidak.
2.      Hadits Matruk, adalah haditst yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam perhaditsan.
3.      Hadits Munkar, adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannnya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Sedangkan menurut Muvarok dkk (2010) mengatakan bahwa hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang berlawanan dengan riwayat perawi yang kuat dan terpercaya (tsiqoh).
4.      Hadits Mu’allal (Ma’lul, Mu’all), adalah hadits yang tampaknya baik, namun setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
5.      Hadits Mudraj (saduran),  adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits. Menurut Muvarok dkk (2008) mengemukakan bahwa hadits mudraj adalah hadits yang didalamnya berisi tambahan-tambahan, baik pada mantan atau pada sanad, karena diduga bahwa sanad tambahan tersebut termasuk bagian hadits tersebut.
6.       Hadits Maqlub, adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan. Menurut Muvarok dkk(2008) mengatakan bahwa hadits maqlub adalah hadits yang terbalik lafadznya pada matan, nama seseorang atau nasbnya dalam sanad. Maka perawi mendahulukan apa yang seharusnya diakhirkan, dan sebaliknya, serta meletakkan sesuatu di tempat sesuatu yang lain. Pembalikan tersebut bisa terjadi pada matan ataupun pada sanad hadits.
7.      Hadits Mudhtharrib, adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan). Hadits mudhthorib adalah hadits yang diriwayatkan melalui beberapa jalur yang sanad atau matannya saling berbeda, baik satu atau beberapa periwayat. Pertentangan tersebut tidak dapat disatuka atau salah satu dikalahkan (Muvarok dkk, 2008) (http://www.library.um.ac.id/image/pustakawan/pdfasrukin/Hadits-Sebuah-Tinjauan-Pustaka.pdf).
Menurut Muvarok dkk (2010) mengatakan bahwa para ulama ahli hadits membolehkan untuk meriwayatkan hadits dho’if selama :
a.       Hadits tersebut tidak berkaitan dengan permasalahan aqidah/ keyakinan.
b.      Hadits tersebut bukan berkaitan dengan penjelasan terhadap hukum syariat, yaitu penjelasan tentang hukum halal dan haram.
Menurut Muvarok dkk (2010) mengatakan bahwa adapun hukum mengamalkan hadits dha’if, para ulama berselisih pendapat tentang boleh tidaknya mengamalkan hadits dha’if, ulama yang membolehkan mengamalkan hadits dho’if menyatakan bolehnya mengamalkan hadits dha’if hanya di dalam masalah fadhoilul a’mal (keutamaan amal) dengan syarat-syarat :
a.       Hadits dha’if tersebut tidak terlalu berat kedho’ifannya.
b.      Hadits tersebut termasuk ke dalam prinsip umum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadits yang shahih.
c.       Hadits itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
Ulama yang lainnya menyatakan tidak boleh sama sekali untuk mengamalkan hadits-hadits dha’if, karena telah tercukupi oleh hadits-hadits yang shahih  maupun hasan (Muvarok dkk, 2010). Beberapa contoh hadits dha’if  yaitu:
ﺍِﻋْﻤَﻞْﻟِﺪُﻧْﻴَﺎﻙَﺗَﻌِﻴْﺶُﺍَﺑَﺪًﺍﻭَآﻋْﻤَﻞْﹺﻻٰﺧِﺮَﺗِﻚَﻛَﺎَﻧﱠﻚَﺗَﻤُﻮْﺕُﻏَﺪًﺍ
 “Beramallah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati esok.”
Menurut Al-Albani (1995) mengemukakan bahwa riwayat ini sangat mahsyur dan hamper setiap orang mengutipnya, tetapi sanadnya tidak ada yang marfu’. Bahkan Syekh Abdul Karim al-Amri tidak mencantumkannya dalam kitabnya al-jaddul-Hatsits fi Bayani ma laysa bi Hadits.
Sumber sanad yang mauquf (pada shabat) yaitu diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibi dalam kitab Ghairibul-Hadits I/ 46, dengan matan “Ihrits lidunyaaka….” Dan seterusnya. Dan terdapat juga dalam riwayat Ibnu Mubarak pada kitab az-Zuhud II/28 dengan sanad lain yang juga mauquf dan munqathi’ (tidak bersambung). Ringkasan, riwayat hadits tersebut dho’if karena daya dua permasalahan dalam sanadnya. Pertama, majhulnya (asingnya) maula (budak/pengikut) Umar bin Abdul Aziz sebagai salah satu perawi sanadnya. Kedua, dho’if pencacat bagi Laits yang bernama Abdullah bin Shaleh, yang juga merupakan perawi sanad dalam riwayat ini (Al-Albani, 1995).

اِنَ النَبِيَ ﺻَﻠَﯽاللهﹸﻋَﻠَﻴْﻪِ  ﻭَﺳَﻠﱠﻢْتَوَ ضَأَ وَمَسَحَ عَلىَ الْجَوْرَ بَيْنِ
Artinya: “Bahwasanya Nabi SAW wudhu dan beliau mengudap kedua kaos kakinya”.

Menurut Wardah (2013) mengatakan bahwa hadits tersebut dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al-Audi. Seorang perawi yang masih dipersoalkan (http.www.wardah.blogspot.com).

Featured Post

Sistem Informasi Kuis dan Materi (e-learning) 2019