Pengertian Rawi
Menurut
ilmu hadits Rawi adalah “orang yang meriwayatkan hadits”. Salah satu cabang
dari penelitian hadits adalah penelitian terhadap rawi hadits. Baik menyangkut
sisi positif maupun sisi negetif perawi. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu
Jarh dan Ta’dil. Ilmu ini membahas tentang kondisi perawi. Apakah dapat
dipercaya, handal, jujur, adil, dan tegas atau sebaliknya.
Jarh
dan Ta’dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalul hadits. Mustafa Al Saba’i
memasukkan ilmu ini sebagai salah satu ilmu yang paling berharga dalam “Ulum Al
Hadits”. Melalui ilmu ini kajian dan penelanjangan terhadap rawi hadits akan
terjadi kredibilitas perawi hadits akan terukur dengan jelas. Mengingat ilmu
ini sangat penting. Siapapun yang menggeluti hadits ia harus mempelajarinya.
Karena ilmu ini menjadi penentu hadits, apakah termasuk shohih atau tidak.
Layak dijadikan sumber hukum atau tidak.
Seorang
rawi yang adil harus memiliki karakteristik moral baik, muslim, telah baligh,
berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal – hal yang menyebabkan harga
dirinya jatuh dan ia meriwayatkan hadits dalam keadaan sadar.
Karakter
yang terdapat dalam diri seorang rawi, mendorongnya agar selalu melakukan hal –
hal postif atau rawi selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen
yang tinggi terhadap agamanya. Maka dari itu rawi di tuntut mengetahui atau
menguasai isi kitabnya. Jika meriwayatkan haditsnya dari kitab dan juga ia
harus mengetahui hal – hal yang dapat menggangu makna hadits yang diriwayatkan.
2.2 Syarat-syarat Seorang Perawi
Ahli
ushul dan ahli fiqh sepakat bahwa seorang perowi harus memenuhi dua syarat
utama, yaitu: al-‘adalah (keadilan) dan al-dabt (daya ingat yang kuat para
perowi). Syarat- syarat seorang perowi ialah:
1) Beragama Islam
2) Baligh
3) Berakal
4) Tidak terdapat
tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muru’ah).
5) Mampu
menyampaikan hadits yang telah dihafalnya.
6) Sekiranya dia
memiliki catatan hadits, maka catatan itu dapat dipercaya.
7) Mengetahui
dengan baik apa yang merusak maksud hadits yang diriwayatkannya secara makna.
A. Islam
Pada
waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seorang perowi harus muslim, dan menurut
ijma’ (kesepakatan para Ulama’), periwayatan kafir tidak sah. Seandainya
perowinya seorang fasik saja kita disuruh bertawaquf. Dalam kaitannnya dengan
masalah ini,
Allah
berfirman dalam surat Al-Hujarat ayat 6 :
Artinya :
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berit, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas
perbuatanmu itu.”
B. Baligh
Yang
dimaksud dengan baligh adalah perowinya cukup usia ketika ia meriwayatkan
hadits, walau penerimanya belum baligh. Hal ini berdasarkan hadis Rasul yang
berbunyi: “Hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan,
yaitu: orang gila, sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai dia bangun dan
anak-anak sampai dia mimpi” (HR. Abu Daud dan Nasa’i). Dan menurut Imam
Yahya bin Ma’in batasan umurnya Adalah 15 tahun. Sedangkan menurut Ulama’ Syam
memandang usia yang ideal adalah 30 tahun, sementara ulama Kufah berpendapat
minimal 20 tahun. Kebanyakan ulama’ hadits tidak menetapkan batasan usia
tertentu bagi anak yang diperbolehkan bertahammul, akan tetapi lebih
menitikberatkan pada ketamyizan mereka. Menurut imam Ahmad bahwa ukuran tamyiz
adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal, ada
juga yang mengatakan, bahwa yang dijadikan ukuran ketamyizan seseorang itu
bukan berdasarkan usia mereka, akan tetapi dilihat dari “apakah anak itu
memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan
benar atau tidak”.
C. al-‘Adalah
Yang
dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang
mnyebabkan orang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan
percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dosa besar dan
sebagian dosa kecil dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi
tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.
Sedangkan
yang termasuk dalam bagian al-dabt yaitu: perowi tidak bertentangan dengan
(periwayatan) perowi lain yang thiqah atau yang lebih thiqah, tidak jelek
hafalannya, tidak terlalu salahnya, tidak pelupa dan tidak terlalu berburuk
sangka, seperti halnya persyaratan ‘adalah. Hal-hal yang berlawanan dengan
persyaratan dhabit diatas akan mengakibatkan tidak dapat diterimanya
periwayatan seorang perowi.
Dan
Jalan mengetahui kedhabitan perowi adalah dengan jalan i’tibar (menyelidiki)
terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqat (bisa dipercaya) dan
memberikan kebenaran. Ada yang mengatakan bahwa di samping syarat-syarat
sebagai sebagaimana disebutkan di atas, ada persyaratan yang lain, yaitu antara
satu perowi dan perowi yang lain harus bersambung, hadis yang disampaikan itu
tidak syadz (hadis yang isinya bertentangan dengan dalil lain yang lebih kuat),
tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang lebih kuat serta
ayat-ayat Al-Qur’an.
Dan
ada beberapa perawi yang tidak terus ditolak riwayatnya (tidak langsung
ditolak) dan tidak terus diterima riwayatnya, ialah:
a.
Orang yang
memperselisihkan tentang cacatnya dan tentang keadilannya.
b. Orang yang banyak menyalahi
imam-imam yang terpercaya dalam riwayat- riwayatnya.
c.
Orang yang
banyak lupa.
d. Orang yang rusak akal di akhir
umurnya.
e.
Orang yang
tidak baik hafalannya.
f.
Orang yang menerima hadits dari
sembarang orang saja, baik dari orang kepercayaan ataupun dari orang yang lemah (tidak bisa dipercaya).
2.3 Proses
Transformasi Hadits
Telah
dikemukakan fakta yang menunjukkan bahwa seluruh problem menyangkut hadits Nabi
terletak pada pertanyaan sentral tentang status Sunnah atau Hadits Nabi yang
selama dia valid merupakan sumber utama kedua hukum Islam, dan bahwa kehidupan
Nabi merupakan model yang patut diikuti oleh kaum Muslim tanpa batasan waktu
dan tempat. Karena alasan ini, para sahabat, bahkan selagi Nabi hidup, mulai
menyebarkan pengetahuan Sunnah, dan mereka memang diperintahkan Rasul untuk
berbuat demikian. Namun ini tidak berarti bahwa pintu terbuka lebar-lebar bagi
siapa saja untuk meriwayatkan hadits sekalipun ia yakin tak membuat kesalahan.
Nabi memperingatkan orang dengan berkata, “Jika seseorang berbohong tentang aku
dengan sengaja, hendaknya ia yakin bahwa tempatnya di neraka jahanam”. Dalam
hadits lain, beliau bersabda ; “Jika seseorang secara sengaja memisahkan
kepadaku apa yang tidak aku katakan, hendaknya ia yakin bahwa tempatnya di
neraka jahanam”.
Peringatan ini
menghasilkan dampak luar biasa terhadap sahabat. Banyak sahabat enggan
menyampaikan hadits bila sangsi terhadap ingatannya. Dalam hal ini, kita dapat
mengambil contoh Anas b. Malik, Zubair bin Al-‘Awwam, Suhaib, Zaid bin Arqam,
juga ‘Abdullah bin Umar.
Kita menemukan
sahabat tertentu mengawasi sahabat lain, meminta mereka untuk betul-betul yakin
dan dapat dengan apa yang mereka sampaikan dari Nabi.
Kritik hadis,
dengan maksud menelusuri otentisitas hadis Nabi, dengan mengartikulasi hadis
yang sah dan tidak, mempunyai nilai yang sangat urgen dan dibutuhkan terutama
karena, pada realitanya, tidak semua hadis secara otentik berasal dari Nabi,
terdapat hadis-hadis palsu (mawdlû’) yang dinisbahkan kepada Nabi.
Transformasi
hadis tidak dapat dipisahkan dari perkembangan politik di dunia Islam. Hal ini
terlihat pada adanya pemalsuan hadis yang kemudian memotivasi kodifikasi hadis
itu. Sebagaimana disinyalir jumhur ulama, pemalsuan hadis itu pertama kali
terjadi pada masa ‘Alî (23-40 H) ketika terjadi pertentangan politik antara
pendukung ‘Ali dan pendukung Mu’awiyah tentang jabatan khilafah, yang
menyebabkan umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu : Syî’ah,
Khawârij, dan Jumhûr.
Masing-masing
golongan; Syî’ah dan Jumhûr itu, untuk menjustifikasi kelompok mereka, membuat
hadis palsu itu yang berimpliksi pada munculnya kerusakan dalam tatanan hadis
secara umum.
Permasalahan
pokok yang muncul dalam penelitian ini berkenaan dengan pengaruh kebijakan
politik di dunia Islam terhadap periwayatan hadis-hadis Nabi. Dalam penelitian
ini, kajian difokuskan pada relevansi perkembangan politik dan transformasi
hadis pada pra dan masa kodifikasi, yang mencakup masa Nabi, masa sahabat, masa
Bani Umayah, dan Masa Bani ‘Abbasiyah. Pembatasan ini dilakukan karena pada
masa-masa itulah hadis mengalami proses transformasi yang gemilang.
2.4 Tahammul
wal-ada
Sebelum menguraikan sighat-sighat
Tahammul wal-‘ada, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu tentang pengertian
tentang Tahammul wal-‘ada. Tahammul adalah kegiatan menerima dan mendengar
suatu periwayatan hadits. Sedangkan Wal-‘ada adalah kegiatan menyampaikan atau
meriwayatkan suatu hadits kepada orang lain.
Cara menerima hadits ada delapan
cara :
1. Mendengar (Al
Sima’)
Yaitu mendengarkan langsung dari
guru. Sima’ mencakup imlak (pendekatan) dan tahdits (narasi atau memberi
informasi) menurut ahli hadits. Simak merupakan shigat riwayat yang paling
tinggi dan paling kuat. Sorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam
periwayatannya (seorang guru meriwayatkan hadits ini kepada kami)
2. Membaca (Al Qira’ah)
Yaitu sipembaca menyuguhkan
haditsnya kehadapan gurunya dalam periwayatannya, bisa kita sendiri yang
membacakan haditsnya pada seorang guru atau orang lain membacakan dan kita
mendengarkan dengan baik. Seorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam
periwayatannya. (aku bacakan hadits ini kepada fulan)
3. Ijazah (Al
Ijazah)
Yaitu memberikan izin dari seseorang
kepada orang lain. Pemberian izin oleh seorang guru kepada muridnya untuk
meriwayatkan sebuah hadits tanpa membaca hadits tersebut satu persatu. Ijazah
ini dapat dilakukan dengan cara lisan bisa juga dengan cara tertulis “aku
berikan ijazah (lisensi) padamu untuk meriwayatkan seluruh hadits yang terdapat
dalam kitab shahih Al Bukhari”
4. Memberi
(Munawalah)
Yaitu guru memberikan naskah asli
kepada muridnya. Munawalah terbagi dua : “pertama”, munawalah disertai dengan
ijazah, “Kedua”, munawalah yang tidak disertai ijazah. “seorang telah
memberitahukan kepadaku”.
5. Menulis (Al
Kitabah)
Yaitu guru menulis sendiri atau
menyuruh orang lain menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain. Kata –
kata yang di pakai “seseorang telah bercerita kepadaku dengan surat menyurat”.
6. Pemberitahuan
(I’lam)
Yaitu seorang guru hadits menerima
hadits tersebut dari guru hadits sebelum tanpa ada perkataan atau suruhan untuk
meriwayatkan, kemudian ini ia sampaikan kepada muridnya. “seseorang telah
memberitahukan kepadaku, ujarnya telah berkata kepadaku”.
7. Wasiat (Al
Wasiyah)
Yaitu periwayat hadits mewasiatkan
kitab hadits yang diriwayatkan kepada orang lain. Waktu berlakunya di tentukan
oleh orang yang memberi wasiat. Demikian pula dengan bimbingan dan
kewenangannya. “seseorang telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab yang
berkata dalam kitab itu “telah bercerita kepadamu sifulan”
8. Penentuan (Al –
Wijadah)
Yaitu memperoleh tulisan hadits
orang lain yang tidak diriwayatkan. Cara ini biasanya dilakukan murid dengan
cara seorang murid menemukan buku hadits orang lain tanpa rekomendasi perizinan
untuk meriwayatkan di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. “saya telah
membaca kitab seseorang”.
Dari delapan model dan cara
transmisi hadits yang telah dijelaskan di atas, yang dijadikan kesepakatan
sebagai model transmisi yang kuat adalah : Al-Sama, Al-Qira’ah dan Al
Mukatabah. Tiga metode ini dianggap efektif dan valid. Selebihnya di
persilahkan perbedaan dalam menanggapi model periwayatan ini terjadi lebih
disebabkan karena mereka sangat berhati – hati dalam meriwayatkan hadits.
Periwayatan hadits dengan makna
dapat ditujukan sebagai penyampaian hadits dengan menggunakan rumusan kalimat
sendiri yang dapat memelihara substansi pesan dan tujuan semula. Dapat pula
dirumuskan sebagai periwayatan hadits yang menggunakan lafadz – lafadz yang
berbeda dengan teks asli tetapi kandungan isinya tetap terjamin sesuai dengan
maksud awal hadits.