Wednesday, December 6, 2017

Pengertian Rawi dan Syarat-syarat Seorang Perawi

Pengertian Rawi


Menurut ilmu hadits Rawi adalah “orang yang meriwayatkan hadits”. Salah satu cabang dari penelitian hadits adalah penelitian terhadap rawi hadits. Baik menyangkut sisi positif maupun sisi negetif perawi. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu Jarh dan Ta’dil. Ilmu ini membahas tentang kondisi perawi. Apakah dapat dipercaya, handal, jujur, adil, dan tegas atau sebaliknya.

Jarh dan Ta’dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalul hadits. Mustafa Al Saba’i memasukkan ilmu ini sebagai salah satu ilmu yang paling berharga dalam “Ulum Al Hadits”. Melalui ilmu ini kajian dan penelanjangan terhadap rawi hadits akan terjadi kredibilitas perawi hadits akan terukur dengan jelas. Mengingat ilmu ini sangat penting. Siapapun yang menggeluti hadits ia harus mempelajarinya. Karena ilmu ini menjadi penentu hadits, apakah termasuk shohih atau tidak. Layak dijadikan sumber hukum atau tidak.

Seorang rawi yang adil harus memiliki karakteristik moral baik, muslim, telah baligh, berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal – hal yang menyebabkan harga dirinya jatuh dan ia meriwayatkan hadits dalam keadaan sadar.

Karakter yang terdapat dalam diri seorang rawi, mendorongnya agar selalu melakukan hal – hal postif atau rawi selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap agamanya. Maka dari itu rawi di tuntut mengetahui atau menguasai isi kitabnya. Jika meriwayatkan haditsnya dari kitab dan juga ia harus mengetahui hal – hal yang dapat menggangu makna hadits yang diriwayatkan.



2.2        Syarat-syarat Seorang Perawi

Ahli ushul dan ahli fiqh sepakat bahwa seorang perowi harus memenuhi dua syarat utama, yaitu: al-‘adalah (keadilan) dan al-dabt (daya ingat yang kuat para perowi). Syarat- syarat seorang perowi ialah:
1) Beragama Islam
2) Baligh
3) Berakal
4) Tidak terdapat tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muru’ah).
5) Mampu menyampaikan hadits yang telah dihafalnya.
6) Sekiranya dia memiliki catatan hadits, maka catatan itu dapat dipercaya.
7) Mengetahui dengan baik apa yang merusak maksud hadits yang diriwayatkannya secara makna.
A.   Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seorang perowi harus muslim, dan menurut ijma’ (kesepakatan para Ulama’), periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perowinya seorang fasik saja kita disuruh bertawaquf. Dalam kaitannnya dengan masalah ini,
Allah berfirman dalam surat Al-Hujarat ayat 6 :




Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang fasik membawa suatu berit, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu.”

B.    Baligh
Yang dimaksud dengan baligh adalah perowinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadits, walau penerimanya belum baligh. Hal ini berdasarkan hadis Rasul yang berbunyi: “Hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan, yaitu: orang gila, sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai dia bangun dan anak-anak sampai dia mimpi” (HR. Abu Daud dan Nasa’i). Dan menurut Imam Yahya bin Ma’in batasan umurnya Adalah 15 tahun. Sedangkan menurut Ulama’ Syam memandang usia yang ideal adalah 30 tahun, sementara ulama Kufah berpendapat minimal 20 tahun. Kebanyakan ulama’ hadits tidak menetapkan batasan usia tertentu bagi anak yang diperbolehkan bertahammul, akan tetapi lebih menitikberatkan pada ketamyizan mereka. Menurut imam Ahmad bahwa ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal, ada juga yang mengatakan, bahwa yang dijadikan ukuran ketamyizan seseorang itu bukan berdasarkan usia mereka, akan tetapi dilihat dari “apakah anak itu memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar atau tidak”.

C.    al-‘Adalah
Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang mnyebabkan orang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dosa besar dan sebagian dosa kecil dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.
Sedangkan yang termasuk dalam bagian al-dabt yaitu: perowi tidak bertentangan dengan (periwayatan) perowi lain yang thiqah atau yang lebih thiqah, tidak jelek hafalannya, tidak terlalu salahnya, tidak pelupa dan tidak terlalu berburuk sangka, seperti halnya persyaratan ‘adalah. Hal-hal yang berlawanan dengan persyaratan dhabit diatas akan mengakibatkan tidak dapat diterimanya periwayatan seorang perowi.
Dan Jalan mengetahui kedhabitan perowi adalah dengan jalan i’tibar (menyelidiki) terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqat (bisa dipercaya) dan memberikan kebenaran. Ada yang mengatakan bahwa di samping syarat-syarat sebagai sebagaimana disebutkan di atas, ada persyaratan yang lain, yaitu antara satu perowi dan perowi yang lain harus bersambung, hadis yang disampaikan itu tidak syadz (hadis yang isinya bertentangan dengan dalil lain yang lebih kuat), tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang lebih kuat serta ayat-ayat Al-Qur’an.
Dan ada beberapa perawi yang tidak terus ditolak riwayatnya (tidak langsung ditolak) dan tidak terus diterima riwayatnya, ialah:
a.       Orang yang memperselisihkan tentang cacatnya dan tentang keadilannya.
b.  Orang yang banyak menyalahi imam-imam yang terpercaya dalam riwayat-    riwayatnya.
c.       Orang yang banyak lupa.
d.      Orang yang rusak akal di akhir umurnya.
e.       Orang yang tidak baik hafalannya.
f.          Orang yang menerima hadits dari sembarang orang saja, baik dari orang kepercayaan          ataupun dari orang yang lemah (tidak bisa dipercaya).

2.3     Proses Transformasi Hadits
Telah dikemukakan fakta yang menunjukkan bahwa seluruh problem menyangkut hadits Nabi terletak pada pertanyaan sentral tentang status Sunnah atau Hadits Nabi yang selama dia valid merupakan sumber utama kedua hukum Islam, dan bahwa kehidupan Nabi merupakan model yang patut diikuti oleh kaum Muslim tanpa batasan waktu dan tempat. Karena alasan ini, para sahabat, bahkan selagi Nabi hidup, mulai menyebarkan pengetahuan Sunnah, dan mereka memang diperintahkan Rasul untuk berbuat demikian. Namun ini tidak berarti bahwa pintu terbuka lebar-lebar bagi siapa saja untuk meriwayatkan hadits sekalipun ia yakin tak membuat kesalahan. Nabi memperingatkan orang dengan berkata, “Jika seseorang berbohong tentang aku dengan sengaja, hendaknya ia yakin bahwa tempatnya di neraka jahanam”. Dalam hadits lain, beliau bersabda ; “Jika seseorang secara sengaja memisahkan kepadaku apa yang tidak aku katakan, hendaknya ia yakin bahwa tempatnya di neraka jahanam”.
Peringatan ini menghasilkan dampak luar biasa terhadap sahabat. Banyak sahabat enggan menyampaikan hadits bila sangsi terhadap ingatannya. Dalam hal ini, kita dapat mengambil contoh Anas b. Malik, Zubair bin Al-‘Awwam, Suhaib, Zaid bin Arqam, juga ‘Abdullah bin Umar.
Kita menemukan sahabat tertentu mengawasi sahabat lain, meminta mereka untuk betul-betul yakin dan dapat dengan apa yang mereka sampaikan dari Nabi.
Kritik hadis, dengan maksud menelusuri otentisitas hadis Nabi, dengan mengartikulasi hadis yang sah dan tidak, mempunyai nilai yang sangat urgen dan dibutuhkan terutama karena, pada realitanya, tidak semua hadis secara otentik berasal dari Nabi, terdapat hadis-hadis palsu (mawdlû’) yang dinisbahkan kepada Nabi.
Transformasi hadis tidak dapat dipisahkan dari perkembangan politik di dunia Islam. Hal ini terlihat pada adanya pemalsuan hadis yang kemudian memotivasi kodifikasi hadis itu. Sebagaimana disinyalir jumhur ulama, pemalsuan hadis itu pertama kali terjadi pada masa ‘Alî (23-40 H) ketika terjadi pertentangan politik antara pendukung ‘Ali dan pendukung Mu’awiyah tentang jabatan khilafah, yang menyebabkan umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu : Syî’ah, Khawârij, dan Jumhûr.
Masing-masing golongan; Syî’ah dan Jumhûr itu, untuk menjustifikasi kelompok mereka, membuat hadis palsu itu yang berimpliksi pada munculnya kerusakan dalam tatanan hadis secara umum.
Permasalahan pokok yang muncul dalam penelitian ini berkenaan dengan pengaruh kebijakan politik di dunia Islam terhadap periwayatan hadis-hadis Nabi. Dalam penelitian ini, kajian difokuskan pada relevansi perkembangan politik dan transformasi hadis pada pra dan masa kodifikasi, yang mencakup masa Nabi, masa sahabat, masa Bani Umayah, dan Masa Bani ‘Abbasiyah. Pembatasan ini dilakukan karena pada masa-masa itulah hadis mengalami proses transformasi yang gemilang.
2.4    Tahammul wal-ada
Sebelum menguraikan sighat-sighat Tahammul wal-‘ada, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu tentang pengertian tentang Tahammul wal-‘ada. Tahammul adalah kegiatan menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits. Sedangkan Wal-‘ada adalah kegiatan menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadits kepada orang lain.
Cara menerima hadits ada delapan cara :

1.    Mendengar (Al Sima’)
Yaitu mendengarkan langsung dari guru. Sima’ mencakup imlak (pendekatan) dan tahdits (narasi atau memberi informasi) menurut ahli hadits. Simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi dan paling kuat. Sorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya (seorang guru meriwayatkan hadits ini kepada kami)

2.    Membaca (Al  Qira’ah)
Yaitu sipembaca menyuguhkan haditsnya kehadapan gurunya dalam periwayatannya, bisa kita sendiri yang membacakan haditsnya pada seorang guru atau orang lain membacakan dan kita mendengarkan dengan baik. Seorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya. (aku bacakan hadits ini kepada fulan)

3.    Ijazah (Al Ijazah)
Yaitu memberikan izin dari seseorang kepada orang lain. Pemberian izin oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan sebuah hadits tanpa membaca hadits tersebut satu persatu. Ijazah ini dapat dilakukan dengan cara lisan bisa juga dengan cara tertulis “aku berikan ijazah (lisensi) padamu untuk meriwayatkan seluruh hadits yang terdapat dalam kitab shahih Al Bukhari”

4.    Memberi (Munawalah)
Yaitu guru memberikan naskah asli kepada muridnya. Munawalah terbagi dua : “pertama”, munawalah disertai dengan ijazah, “Kedua”, munawalah yang tidak disertai ijazah. “seorang telah memberitahukan kepadaku”.

5.    Menulis (Al Kitabah)
Yaitu guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain. Kata – kata yang di pakai “seseorang telah bercerita kepadaku dengan surat menyurat”.

6.    Pemberitahuan (I’lam)
Yaitu seorang guru hadits menerima hadits tersebut dari guru hadits sebelum tanpa ada perkataan atau suruhan untuk meriwayatkan, kemudian ini ia sampaikan kepada muridnya. “seseorang telah memberitahukan kepadaku, ujarnya telah berkata kepadaku”.

7.    Wasiat (Al Wasiyah)
Yaitu periwayat hadits mewasiatkan kitab hadits yang diriwayatkan kepada orang lain. Waktu berlakunya di tentukan oleh orang yang memberi wasiat. Demikian pula dengan bimbingan dan kewenangannya. “seseorang telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab yang berkata dalam kitab itu “telah bercerita kepadamu sifulan”

8.    Penentuan (Al – Wijadah)
Yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan. Cara ini biasanya dilakukan murid dengan cara seorang murid menemukan buku hadits orang lain tanpa rekomendasi perizinan untuk meriwayatkan di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. “saya telah membaca kitab seseorang”.

Dari delapan model dan cara  transmisi hadits yang telah dijelaskan di atas, yang dijadikan kesepakatan sebagai model transmisi yang kuat adalah : Al-Sama, Al-Qira’ah dan Al Mukatabah. Tiga metode ini dianggap efektif dan valid. Selebihnya di persilahkan perbedaan dalam menanggapi model periwayatan ini terjadi lebih disebabkan karena mereka sangat berhati – hati dalam meriwayatkan hadits.

Periwayatan hadits dengan makna dapat ditujukan sebagai penyampaian hadits dengan menggunakan rumusan kalimat sendiri yang dapat memelihara substansi pesan dan tujuan semula. Dapat pula dirumuskan sebagai periwayatan hadits yang menggunakan lafadz – lafadz yang berbeda dengan teks asli tetapi kandungan isinya tetap terjamin sesuai dengan maksud awal hadits.


Featured Post

Sistem Informasi Kuis dan Materi (e-learning) 2019