PEMBUKUAN HADITS
Pada masa permulaan Al-Qur’an masih
diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan
bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa itu, di samping menyuruh
menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat
Al-Qur’an.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi Muhamma SAW yang melarang
penulisan hadits tersebut sudah dinaskh dengan hadits-hadits lain yang
mengizinkannya.
Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih
belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai
akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah agama
Islam tersiar di daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka
yang wafat.
Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-tama
menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian
diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain.
Penulisan dan pembukuan hadits Nabi SAW ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh
ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang
besar seperti kitab al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan
lain sebagainya.
B. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini
adalah:
- mengetahui pengertian Ulumul
hadits
- mengetahui Sejarah pembukuan
hadits
- mengetahui pembukuan ilmu hadits
riwayah dan dirayah
- mengetahui cabang – cabang ulumul
hadits
C. Rumusan Masalah
Adapun batasan-batasan masalah atau
batasan pembahasan makalah ini adalah:
- Apa pengertian Ulumul hadits?
- Bagaimana sejarah pembukuan
hadits?
- Bagaimana pembukuan ilmu
hadits riwayah dan dirayah?
- Apa saja cabang – cabang ulumul
hadits?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Ulumul hadits
Ulumul
Hadis adalah istilah Ilmu Hadis di dalam tradisi Ulama` Hadis.
(Arabnya: `Ulum al Hadits). `Ulum al Hadits terdiri atas dua kata, yaitu `Ulumdan al Hadits. Kata `Ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak
dari `Ilm,jadi berarti
“ilmu-ilmu”; sedangkan al
Hadits di kalangan Ulama`
Hadis berarti “segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan,
perbuatan, taqrir, atau sifat.” Dengan demikian `Ulum Al Hadits mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang
membahas atau berkaitan dengan Hadis Nabi “.
2. Sejarah pembukuan Hadits
Pada abad pertama Hijriyah, mulai
dari zaman Rasulullah SAW, masa khulafa rasyidin dan sebagian besar zaman
umawiyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijrah, hadits-hadits itu berpindah
dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada
kekuatan hafalannya. Pada masa ini mereka belum terdorong untuk membukukannya.
Ketika kendali khalifah dipegang
oleh ‘Umar ibn Abdil Aziz yang dinobatkan pada tahun 99 H sebagai seorang
khalifah dari dinasti umawiyah yang terkenal adil, sehingga beliau dipandang
sebagai khalifa rasyidin yang kelima, tergeraklah hati untuk membukukan hadits.
Beliau sadar bahwa para perawi yang membendaharakan hadits dalam
kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak
segera dibukukan hadits dari para perawinya, memungkinkan hadits-hadits
tersebut itu akan lenyap dari muka bumi ini.
Untuk menghasilkan maksud mulia itu,
pada tahun 100 H khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu bakar bin
Muhammad binAmr bin Hazm untuk membukukan hadits Rasul dan hadits-hadits
yang ada pada Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddieq.
‘Umar bin Abdil Aziz menulis kepada
Abu Bakar bin Hazm, yang bunyinya :
‘’Lihat dan periksalah apa
yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah SAW, lalu tulislah karena aku takut
akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain
dari hadits-hadits Rasulullah SAW. Dan hendaklah Anda sebarkan ilmu dan
mengadakan majlis-majlis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat
mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikan barang rahasia.”
Disamping itu ‘Umar mengirimkan
surat-suratnya kepada gubernur ke wilayah yang di bawah kekuasaannya supaya
berusaha membukukan hadits yang ada pada ulama yang diam di wilayah mereka
masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan
khalifah itu ialah : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az
Zuhry, seorang tabi’in yang ahli dalam urusan fikih dan hadits.[1]
Kitab hadits yang ditulis oleh ibnu
Hazm yang merupakan kitab hadits yang pertama yang ditulis atas perintah kepala
negara tidak sampai kepada kita, tidak terpelihara dengan semestinya. Dan kitab
itu tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah. Membukukan hadits yang
ada di Madinah itu, dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin Muslim bin Syihah
az Zuhry yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama
hadits di masanya.
Kemudian dari itu, berlomba-lombalah
para ulama besar membukukan hadits atas anjuran Abu Abbas as Saffah dan
anak-anaaknya dari khalifah-khalifah abbasiyah.
Pada zaman dahulu menyusun hadits
tidak diberi upah, jangankan upah, tidak disuruh juga mereka dengan senang
hati menyusun hdits tanpa meminnta imbalan. Karena mereka
berfikir/berkata bahwa inilah hasil dari fikiran mereka, ddan ini bukanlah
suattu pekerjaan yang hharus diberi upah. Ulamma’ zaman dahulu benar-benar
berbeda dengan ulama’ zaman sekarang, mereka benar-benar berjuang di jalan
Allah dan tidak mengharapkan imbalan apapun.
a. Di kota Makkah, Ibnu Juraij (80
H= 669 M – 150 H 767 M).
b. Di kota Madinah, Ibnu Ishaq (.....H
= 151 M..... H=768 M), atau Ibnu Dzi’bin. Atau Malik bin Anas ( 93 H = 703 M –
179 H = 798 M ).
c. Di kota Bashrah, al Rabi’ bin Shabih
(.....H =.....M – 160 H = 777 M). Atau Hammad bin Salamah ( 176 H ), atau Sa’id
bin Arubah ( 156 H= 773 M ).
d. Di Kufah, Sufyan ats Tsaury ( 161 H
).
e. Di Syam, al Auza’y (156 H ).
f. Di Wasith, Husyaim al Wasithy ( 104
H = 772 M – 188 H = 804 M ).
g. Di Yaman , Ma’mar al Azdy (95 H =
753 M -153 H = 770 M ).
h. Di Rei, Jarir al Dlabby ( 110 H =
728 M – 188 H = 804 M ).
i. Di Khurasan, bin Mubarak (118 H =
735 M - 18 H = 797 M ).
j. Di Mesir, al Laits bin Sa’ad ( 175
M ).
Kitab yang paling tua yang ada di
tangan umat Islam dewasa ini ialah al Muwaththa’ susunan Imam
Malik r.a. ats permintaan khalifah Al Manshur ketika dia pergi naik haji pada
tahun 144 H ( 143 H ).
Kitab al Muwaththa’ dianggap paling
shahih, karena tingkat keshahihannya lebih tinggi daripada kitab-kitab
sebelumnya. Karena pada saat itu Imam Bukhory belum muncul, dari sistematika
itu yang paling baik.
3.
Pembukuan ilmu hadits
riwayah dan dirayah
Pengertian
Ilmu Hadis Riwayah
a. Menurut Ibn
al-Akfani, sebagaimana yang di kutip oleh Al-Suyuthi, yaitu:
Ilmu Hadis yang khusus berhubungan
dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan
Nabi SAW dan perbuatannya, pencatatannya, serta periwayatannya, dan penguraian
lafaz-lafznya.
b. Menurut Muhammad
`Ajjaj al-Khathib, yaitu:
Ilmu yang membahas tentang
pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW,
berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), sifat
jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci.
c. Menurut Zhafar
Ahmad ibn lathif al-`Utsmani al-Tahanawi di dalam
Qawa`id fi `Ulum al-Hadits, yaitu:
Qawa`id fi `Ulum al-Hadits, yaitu:
Ilmu Hadis yang khusus dengan
riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan
keadaan Rosul SAW serta periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan
Hadis Nabi SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Dari ketiga definisi di atas dapat
di pahami bahwa Ilmu Hadis Riwayahpada dasarnya adalah membahas
tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis
Nabi SAW.
Objek kajian Ilmu Hadis Riwayah
adalah Hadis Nabi SAW dari segi periwayatannya dan pemeliharaannya. Hal
tersebut mencakup:
- Cara periwayatan Hadis, baik dari segi
cara penerimaan dan demikian juga cara penyampaiannya dari seorang perawi
kepada perawi yang lainnya;
- Cara pemeliharaan Hadis, Yaitu dalam
bentuk penghafalan, penulisan dan pembukuannya.
Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu
ini adalah: pemeliharaan terhadap Hadis Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia,
serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau
dalam penulisan dan pembukuannya.
Pengertian Ilmu Hadis Dirayah
Para ulama memberikan definisi yang
bervariasi terhadap Ilmu HadisDirayah ini. Akan tertapi, apabila di
cermati definisi-definisi yang mereka kemukakan, terdapat titik persamaan di
antara satu dan yang lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok
bahasannya.
a. Menurut ibnu
al-Akfani, yaitu:
Dan ilmu hadis yang khusus tentang
Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat,
syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi,
syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuaatu yang
berhubungan dengannya.
b. Imam al-Suyuti
merupakan uraian dan elaborasi dari definisi diatas, yaitu:
Hakikat Riwayat adalah kegiatan
periwayatan sunnah (Hadis) dan penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya
dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi “haddatsana
fulan”,(telah menceritakan kepada kami si fulan), atau ikhbar, seperti
perkataannya “akhbarana fulan”, (telah mengabarkan kepada kami
si fulan).
Syarat-syarat Riwayat yaitu
penerimaan para perawi terhadap apa yang di riwayatkan dengan menggunakan
cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul
al-Hadits), seperti sama`(perawi yang mendengar langsung bacaan
Hadis dari seorang guru),qira`ah (murid membacakan catatan Hadis
dari gurunyadi hadapan guru tersebut), ijazah (memberi izin
kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu hadis dari seorang Ulama` tanpa di
bacakan sebelumnya), munawalah (menyerahkan suatu Hadis yang
tertulis kepada seseorang untuk di riwayatkan), kitabah (menuliskan
Hadis untuk seseorang), i`lam (memberi tahu seseorang bahwa
Hadis-hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat (mewasiat-kan
kepada seseorang koleksi Hadis yang di milikinya), dan wajadah (mendapat-kan
koleksi tertentu tentang Hadis dari seorang guru).
Macam-macam riwayat adalah seprti
periwayatan muttashil(periwayatan yang bersambung mulai dari perawi
pertama sampai kepada perawi yang terakhir), atau munqothi` (periwayatan
yang terputus, baik di awal, di tengah atau di akhir), dan yang lainnya.
Hukum riwayat adalah al-qobul (di
terimanya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu), dan al-radd (ditolak,
karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi).
Keadaan para perawi maksudnya adalah
keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al-`adalah) dan
ketidakadilan mereka (al-jarh).
Syarat-syarat mereka yaitu
syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang perawi ketika menerima riwayat
(syarat-syarat padatahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat
(syarat pada al-adda`).
Jenis yang diriwayatkan (ashnaf
al-marwiyyat) adalah penulisan Hadis di dalam kitab al-musnad, al-mu`jam, atau al-ajza` dan
lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun Hadis-hadis Nabi SAW.
c. M. `Ajjaj
al-Khatib dengan definisi yang lebih ringkas dan komprehensif, yaitu:
Ilmu Hadis Dirayah adalah kumpulan
kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari
segi di terima atau ditolaknya.
Dengan urian sebagai berikut:
Al-rawi atau perawi adalah
orang yang meriwayatkan atau menyampaikan Hadis dari satu orang kepada yang
lainnya; Al-marwiadalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu
sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya seperti
Sahabat atau Tabi`in; keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya adalah
mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh danta`dil ketika tahammul dan adda`
al-Hadits, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam
kaitannya dengan periwayatan Hadis; keadaan marwi adalah
segala sesuatu yang berhubungan denganittishal al-sanad (persambungan sanad)
atau terputusnya, adanya `illatatau tidak, yang menentukan diterima
atau ditolaknya suatu Hadis.
Objek kajian atau pokok bahasan Ilmu
Hadis Dirayah ini, berdasarkan definisi diatas adalah sanad dan matan Hadis.
Pembahasan tentang sanad meliputi:
(i) segi persambungansanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu
rangkaian sanad Hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat
sampai kepada periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadis
tersebut; oleh karenanya, tidak di benarkan suatu rangkaian sanad tersebut
yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui idenatitasnya atau tersamar; (ii)
segi keterpercayaan sanad (tsiqot al-sanad), yaitu bahwa
setiap perawi yang terdapat didalam sanad suatu Hadis harus
memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau
dokumentasi Hadisnya); (iii) segi keselamatannya dari kejanggalan (syadz);(iv)keselamatannya
dari cacat (`illat); dan (v) tinggi dan rendahnya suatu sanad.
Sedangakan pembahasan mengenai matan adalah
meliputi segi ke-shahih-an atau ke-dho`ifan-nya. Hal tersebut
dapat terlihat melalui kesejalanannya dengan makna dan tujuan yang terkandung
di dalam Al-Qur`an, atau keselamatannya: (i) dari kejanggalan redaksi (rakakat
al-faz); (ii) dari cacat atau kejanggalan pada maknanya (fasd
al-ma`na), karena bertentangan dengan akal dan panca indra, atau
dengan kandungan dan makna Al-Qur`an, atau dengan fakta sejarah; dan (iii) dari
kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa
dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan urgensi Ilmu Hadis
Dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan Hadis-hadis yang Maqbul (yang
dapat diterima sebagai dalil atau untuk di amalkan), dan yang mardud (yang
ditolak).
Ilmu Hadis Dirayah inilah yang
selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul Hadis, Mushthalah
al-Hadits, atau Ushul al-Hadits.Keseluruhan nama-nama
diatas, meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama yaitu
ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan perawi
(sanad) dan marwi (matan) suatu Hadis, dari segi diterima dan di tolaknya.
4. Cabang – cabang Ulumul
hadits
Diantara cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadis
Riwayah dan Dirayah ialah:
a. Ilmu Rijal al-Hadis
Yaitu ilmu yang membahas para perawi
hadits, baik dari sahabat, dari tabi`in, mupun dari angkatan-angkatan
sesudahnya. Hal yang terpenting di dalam ilmu Rijal al-Hadits adalah sejarah
kehidupan para tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri
asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka berapa lama,
kepada siapa saja mereka memperoleh hadis dan kepada siapa saja mereka
menyampaikan Hadis. Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang mempelajari
persoalan ini. Ada yang menyebut Ilmut Tarikh,ada yang
menyebut Tarikh al-Ruwat, ada juga yang menyebutnya Ilmu
Tarikh al-Ruwat.
b. Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Yaitu Ilmu yang menerangkan tentang
hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta`dilannya
(memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang
martabat-martabat kata-kata itu. Maksudnya al-Jarh (cacat) yaitu istilah yang
digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada periwayat hadis
seperti, pelupa, pembohong, dan sebagainya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan
maka dikatakan bahwa periwayat tesebut cacat. Hadis yang dibawa oleh periwayat
seperti ini ditolak, dan hadisnya di nilai lemah (dha`if). Maksudnya
al-Ta`dil (menilai adil kepada orang lain) yaitu istilah yang digunakan untuk
menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti, kuat hafalan,
terpercaya, cermat, dan lain sebagainya. Orang yang mendapat penilaian seperti
ini disebut `adil,sehingga hadis yang di bawanya dapat di terima
sebagai dalil agama. Hadisnya dinilai shahih. Sesuai dengan fungsinya sebagai
suber ajaran Islam, maka yang diambil adalah hadis shahih.
c. Ilmu Fannil Mubhamat
Yaitu ilmu untuk mengetahui nama
orang-orang yang tidak disebut di dalam matan atau di dalam sanad. Misalnya
perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam shahih Bukhory diterangkan
selengkapnya olehIbnu Hajar Al `Asqollany dalam Hidayatus
Sari Muqaddamah Fathul Bari.
d. Ilmu Mukhtalif al-Hadis
Yaitu ilmu yang membahas Hadis-hadis
secara lahiriah bertentangan, namun ada kemungkinan dapat diterima dengan
syarat. Mungkin dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumannya dan lainnya,
yang bisa disebut sebagai ilmu Talfiq al-Hadits.
e. Ilmu `Ilalil Hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang
sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak keabsahan suatu Hadis. Misalnya
memuttasilkan Hadis yang munqathi`, memarfu`kan Hadis
yang mauquf, memasukkan suatu Hadis ke Hadis yang lain, dan
sebagainya. Ilmu yang satu ini menentukan apakah suatu Hadis termasuk
Hadis dla`if, bahkan mampu berperan amat penting yang dapat
melemahkan suatu Hadis, sekalipun lahirnya Hadis tersebut seperti luput dari
segala illat.
f. Ilmu Gharibul-Hadits
Yaitu ilmu yang membahas dan
menjelaskan Hadis Rasulullah SAW yang sukar di ketahui dan di pahami orang
banyak karena telah berbaur dengan bahasa lisan atau bahasa Arab pasar. Atau
ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar
diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum.
g. Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis
Yaitu ilmu yang membahas Hadis-hadis
yang bertentangan dan tidak mungkin di ambil jalan tengah. Hukum hadis yang
satu menghapus (menasikh) hukum Hadis yang lain (mansukh). Yang
datang dahulu disebut mansukh, dan yang muncul belakangan
dinamakan nasikh.Nasikh inilah yang berlaku selanjutnya.
h. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
(sebab-sebab munculnya Hadis)
Yaitu ilmu yang menerangkan
sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu.
Seperti di dalam Al Qur`an dikenal adalah Ilmu Asbab al-nuzul, di dalam Ilmu
hadis ada Ilmu Asbab wurud al-Hadits. Terkadang ada hadis yang apabila tidak di
ketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak
di amalkan.
i. Ilmu Mushthalah Ahli
Hadits
Yaitu ilmu yang menerangkan
pengertian-pengertian (istilah-istilah yang di pakai oleh ahli-ahli Hadis.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan
memperhatikan apa yang telah diusahakan para ‘ulama dapatlah kita memantapkan,
bahwa merekalah ilama’ yang mula-mula menciptakan undang-undang (Qowait) untuk
membedakan yang baik dari yang buruk mengenai khobar-khobar dan riwayat-riwayat
yang diterima dari antara seluruh umat, karna memang ulama-ulama Islam
sangat berhati-hati benar dalam soal menerima berita yang disampaikan
kepadanya.
Semua itu mereka lakukan untuk
memelihara sunah rasul dan untuk menetapkan garis pemisah antara shahih dan
dho’if, istimewa antara hadits-hadits yang ada asal usulnya dengan
hadits-hadits yang semata-mata maudu’.
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment